KUNINGAN (Mass)- Di Desa Ancaran Kecamatan Kuningan Kabupaten Kuningan ada kampung pecinan. Namun, sayangnya kampung pecinan itu kini tinggal sejarah karena warga Tionghoa memutuskan meninggalkan desa tersebut.
Dari lima dusun yang ada di Desa Ancaran yakni, Dusun Manis, Dusun Pahing, Dusun Wage, Dusun Bojong, dan Dusun Puhun. Etnis Tionghoa tinggal di Dusun Manis. Maka Dusun Manis kerap disebut Dusun Pecinan oleh warga sekitar.
Meski sudah tidak dihuni lagi oleh warga keturunan, namun anak cucu mereka kerap datang ke Ancaran. Bagi warga Tionghoa Ancaran tidak akan pernah dihapus dalam sejarah.
Bagi mereka Ancaran merupakan salah satu wilayah yang memiliki sejarah perkembang Tionghoa di Kuningan. Salah satu bukti warga Tionghoa pernah menjadi bagian sejarah Ancaran masih bisa dilihat.
Salah satunya adalah mata air yang hingga saat ini terus mengalir memberikan penghidupan bagi warga sekitar. Sementara itu, untuk bekas-bekas peninggalan bangunan seperti klenteng dan juga bangunan bersejarah kini sudah tidak ada.
Mereka mendiami kawasan tersebut sejak zaman Belanda. Dan pada saat itu terpaksa harus pergi karena ada sesuatu hal, sehingga kampung pencinan itu kosong sama sekali.
Sementara itu, kawasan mata air kerap dikunjungi oleh etnis Tionghoa dari berbagai daerah untuk ziarah. Mereka mengambil untuk dijadikan air jimat terutama sebelum dilakukan perayaan hopeng.
Dari informasi yang diperoleh, warga Tionghoa mendiamai daerah Ancaran sudah sejak lama. Terakhir kali mereka ada pada tahun 1943 atau pada masa penjajahan Jepang. Mereka terpaksa pindah ke daerah perkotaan karena sesuatu hal.
“Apabila tidak pindah mungkin hingga saat ini etnis Tionghoa ada di Ancaran. Menurut cerita orang tua dulu mereka mendiami wilayah Ancaran sejak berdiri kampung Ancaran,” ujar Kades Ancaran Iing Thohirade bercerita kepada Kuningan Mass belum lama ini.
Iing yang didampingi Sekdes Ade menyebutkan, sepertinya halnya permukiman di Dusun Manis juga ada tempat ibadah berupa klenteng, tempat pemakaman dan juga mata air untuk mendukung kehidupun. Ketika pada masa kemerdekaan bukti peningagalan masih ada.
Namun seiring waktu dan tempat tersebut berganti dan didiami etnis Sunda peninggalan tersebut musnah. Saat ini yang tertinggal berupa mata air yang hinggga kini airnya jernih dan tidak pernah kering.
Meski etnis Tionghoa sudah lama meninggalkan wilayah Ancaran namun ternyata generasi penerus tidak pernah lupa akan sejarah. Tiap tahun mereka selalu mengunjungi wilayah ini terutama mata air dengan tujuan untuk ziarah.
“Biasanya mereka membawa air dari mata air yang disebut sumur jangkung oleh warga Ancaran. Bahkan agar mata air tersebut lestari mata air tersebut dibuat jamban dan dibangun permanen,” tandasnya
Sepengetahuannya, para cucu etnis Tionghoa tersebut yang sering berkunjung dari warga etnis Tionghowa yang ada di Kuningan dan juga dari Surabaya, Yogyakarta dan dari kota-kota besar. Meski kini didiami etnis Sunda namun warga tidak pernah melupakan sejarah.
“Ada informasi mata air itu akan dibangun secara permanen dari Program Kotaku, tapi hingga saat ini belum ada kabar,” jelas Iing.
Terpisah, Suandi warga tionghoa yang saat ini sebagai pengurus klenteng membenarkan, bahwa etnis Tionghoa pernah mendiami Ancaran. Ia sendiri tidak tahu percis sejarah karena ketika itu belum lahir. Namun, yang pasti ada bukti yakni mata air.
“Ketika menjelang perayaan hopeng selalu mengambil mata air dari Ancaran. Hingga saat ini banyak keturanan Tionghoa yang ziarah,” sebutnya.
Selain Ancaran, banyak daerah Kuningan yang didiami kaum Tionghoa salah satunnya Cilimus. Setiap permukiman pasti didirikan kleteng. (agus)