KUNINGAN (MASS) – Sejak dilaksanakannya pada awal Januari 2025 lalu, program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus mendapatkan sorotan karena temuan kasus dari mulai menu yang diduga gizinya tidak sesuai, temuan hewan, busuk atau basi, hingga kasus keracunan. Kasus siswa yang mengalami keracunan usai mengonsumsi MBG meningkat dalam kurun waktu seminggu terakhir di pelbagai daerah di Indonesia.
Seperti diberitakan CNN Indonesia, korban keracunan MBG di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, mencapai lebih dari seribu orang. Menurut data di Posko Cipongkor dan Posko Cihampelas sejak Senin (22/9) sampai Kamis (25/9), ada 1.315 orang yang mengalami keracunan. Kebanyakan merupakan pelajar SD hingga SMA/SMK. Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menetapkan kasus keracunan massal sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). (CNN Indonesia, Kamis, 25 Sep 2025 13:45 WIB)
Siswa keracunan menu yang sudah tidak layak dikonsumsi gejalanya mual, muntah², pusing, sesak napas bahkan ada yang sampai kritis dan kebanyakan mereka dirawat. Maraknya keracunan massal akibat makan MBG di puluhan kab/kota di 16 provinsi, sejak Januari 2025 sampai 22 September 2025 telah berjatuhan mencapai 5.626 korban keracunan MBG.
Pertanyaannya, dapatkah pengelola MBG yang mengakibatkan siswa korban keracunan dijerat UU Perlindungan Konsumen, dan apakah siswa yang menjadi korban makanan MBG dapat disebut konsumen?
Berbicara konsumen tentunya tidak bisa lepas dari undang-undang yang mengaturnya yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dimana undang-undang ini merupakan payung (umbrella act) yang mengintegrasikan peraturan perundang-undangan lain untuk memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. Selain itu uu ini menganut asas pembuktian terbalik dan mengatur tiga sanksi yang bisa diterapkan sekaligus (perdata, administratif dan pidana).
Konsumen menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian siswa adalah pihak penerima/pemakai yang mengkonsumsi makanan MBG. Sedangkan pengelola MBG menurut UUPK termasuk kategori Pelaku Usaha.
Terkait kebijakan MBG yang menimbulkan korban massal itu, dalam perspektif Hukum Perlindungan Konsumen (UUPK), ada beberapa ketentuan yang dapat dikenakan, diantaranya Bab III mengatur tentang Hak dan Kewajiban Konsumen dengan Pelaku Usaha. Bab IV mengatur tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha. Bab VI mengatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Bab X mengatur tentang Penyelesaian Sengketa. Bab XII tentang Penyidikan. Bab XIII tentang Sanksi.
Hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 diantaranya adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkan kewajiban Pelaku Usaha yang diatur dalam Pasal 7, diantaranya : Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Ketentuan Pasal 19 ayat 1 UUPK menyebutkan : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.” Ayat 4 nya berbunyi : “Pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.” Dan UUPK mengatur Tindak Pidana Korporasi (Pasal 61)
Sedangkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a UUPK menyebutkan : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ternyata pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 8 diatur dalam Pasal 62 ayat 1 UUPK menyebutkan : “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 (dst), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” Sanksi administratif yang bisa dikenakan kepada pengelola MBG diatur dalam Pasal 60 mengenai penetapan ganti rugi dan Pasal 63 huruf f UUPK tentang pencabutan ijin usaha.
Sementara ketentuan Pasal 23 UUPK menyebutkan : “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Menurut Pasal 56 UUPK, Apabila putusan BPSK tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Putusan BPSK merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Karena kedudukan UUPK sebagai ‘Umbrella Act’, maka terhadap kesalahan/kelalaian pengelola MBG yang mengakibatkan jatuhnya korban, juga dapat dijerat uu lain. KUHPidana mengatur tentang kelalaian yaitu Pasal 359, 360 dan 361. Bisa terkena juga UU Kesehatan, UU Pangan, UU Higiene, UU Perdagangan, UU tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, selain KUHPerdata (Pasal 1365, Pasal 1367 jo. Pasal 1243).
Program MBG merupakan program makan siang gratis yang dicetuskan oleh Presiden Prabowo Subianto. Program ini dirancang dengan tujuan untuk membangun sumber daya unggul, menurunkan angka stunting (tengkes), menurunkan angka kemiskinan, dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Program ini juga dibuat dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yang menargetkan terciptanya generasi emas dari bonus demografi, yang mampu membawa Indonesia menjadi negara maju.
Program MBG secara ide sangat mulia memberi makanan bergizi gratis kepada anak-anak demi menunjang kesehatan dan pendidikan mereka. Namun jika tidak ada evaluasi menyeluruh setelah insiden pertama (bulan Januari 2025), dan tidak membentuk tim yang melakukan pengawasan dan pengawalan program ini sampai tingkat teknis di lapangan, maka program ini akan berubah dari niat baik menjadi ancaman nyata bagi anak-anak Indonesia.
Keracunan MBG bagi anak-anak “tak bisa ditolerir” dan program MBG ini harus dihentikan untuk dilakukan evaluasi total. Jika sudah terjadi keracunan makanan berulang selama 9 bulan berturut-turut dan telah menimpa ribuan siswa, merupakan masalah kemanusiaan, maka peristiwa ini bukan sekadar “insiden teknis”, tetapi krisis manajemen dan pengawasan sistemik yang mandek serta unsur kelalaian yang sangat dominan.
Upaya dan tuntutan hukum baik perdata, pidana maupun administrasi yang dilakukan oleh para siswa/orangtua siswa korban MBG kepada pengelola MBG maupun kepada pemerintah adalah hak konstitusi mereka sebagai warganegara yang harus dihormati meskipun program ini dirubah/diganti dengan bantuan tunai langsung. Artinya, upaya hukum tidak menghilangkan kesalahan atau penggantian program MBG tidak menghapus tuntutan hukum.
Menurut mantan presiden AS John F. Kennedy, yang dianggap satu-satunya kepala negara dunia yang peduli terhadap perlindungan konsumen, dalam pidatonya dihadapan Kongres AS pada 15 Maret 1962, menyampaikan 4 (empat) hak dasar/asasi yang dimiliki konsumen, yaitu: 1. The right to safety, (hak memperoleh keamanan). 2. The right to choose, (hak untuk memilih). 3. The right to be informed, (hak mendapatkan informasi), dan 4. The right to be heard, (hak untuk didengar).
Keempat hak dasar konsumen di atas relevan untuk diterapkan dalam kasus keracunan massal makanan MBG. Di tengah berbagai beban masyarakat sebagai konsumen dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan sehari², seperti masalah beras, bbm, minyak goreng, gas 3 kg, pajak, dll, sementara PHK massal terus terjadi dan mencari pekerjaan susah, maka program MBG sangat membantu rakyat.
Namun dalam kasus MBG ini pemerintah tidak bisa lepas dari tanggung jawab hukum, khususnya terkait pembinaan dan pengawasan terhadap pelaku usaha, UUPK mengatur tanggung jawab pemerintah di Bab VII tentang Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu merujuk ketentuan Pasal 8 ayat 1 di atas secara yuridis, pemerintah juga bisa dikenakan uu berlapis diantaranya UU Kesehatan, UU Pangan, UU Pelayanan Publik, UU Ombudsman, UU tentang Administrasi Pemerintahan dan PP ttg Standar Pelayanan Minimal.
Korban MBG bukan hanya anak-anak yang keracunan hari ini, tapi juga masa depan bangsa jika ketidakpedulian ini dibiarkan atau lambat melakukan langkah² pencegahan yang cepat dan tegas. Dan saat ini rakyat berhak marah dan kekecewaannya tengah memuncak, ketika pemerintah belum maksimal memperlihatkan/membuktikan tanggungjawabnya atas dasar kelalaian MBG, bahkan ada indikasi mempertahankan dan melanjutkan program MBG dengan melihat DPR telah mensahkan APBN 2026 yang menambah anggaran MBG sebesar Rp 335 Triliun yang juga merupakan uang rakyat dari pajak. Tampaknya para pengelola bangsa ini tidak empati/tidak peduli terhadap kondisi rakyat bahkan mungkin bebal. Haruskah ada gerakan demo rakyat kembali seperti Agustus lalu (‘Agustus Kelabu’) yang juga memakan banyak korban? ***
Penulis : Dr. Firman Turmantara End, SH., S.Sos., M.Hum dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen Pascasarjana Univ. Pasundan/Dewan Pakar Ekonomi Majelis Musyawarah Sunda (MMS)/Mantan Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Periode 2013-2016 & Periode 2020-2023.