KUNINGAN (MASS) – Bagi sebagian orang, ilmu fisika mungkin bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi berbeda bagi Salsabila Husna perempuan asal Desa Cihideunghilir, Kecamatan Cidahu. Kecintaannya terhadap ilmu fisika sejak duduk di bangku SMA mengantarkannya melanjutkan S1 bahkan mendapatkan beasiswa Program Studi Pendidikan Fisika di Universitas Negeri Yogyakarta.
Pada kuninganmass.com, ia bercerita tentang salah satu pencapaiannya selama studi S1. Tepatnya saat menjalankan tugas akhir skripsi, dimana ia memperoleh dana hibah penelitian yang dimanfaatkan dalam mengembangkan media pembelajaran astronomi berbasis budaya khususnya sunda. Hasilnya itu ia persentasikan dalam sebuah seminar internasional.
“Dana hibah tersebut saya manfaatkan untuk mengembangkan media pembelajaran astronomi berbasis budaya, khususnya mengangkat budaya Sunda, yang ditujukan untuk peserta olimpiade. Hasil pengembangan media ini kemudian saya presentasikan dalam sebuah seminar internasional,” ujar Salsabila, baru-baru ini.
Belum puas mengenyam akademik S1, berkat ketekunannya, ia dipercaya untuk menerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Dengan latar belakang akademik dan pengalaman riset yang dimiliki, ia berharap terus berkontribusi dalam pengembangan pendidikan sains yang kontekstual dan berbasis budaya lokal di Indonesia.
“Beasiswa ini menjadi langkah awal bagi saya untuk melanjutkan studi di jenjang S2, masih di Universitas Negeri Yogyakarta, dengan program studi yang sama, yaitu Pendidikan Fisika,” ucapnya.
Meski tampak mulus, dalam perjalanannya tentu saja ada hambatan yang dihadapi. Salsabila mengaku, yang paling nyata namun sering tak terlihat yang ia alami adalah merasa kesepian menjalankan akademiknya. Ketika ia menekuni bidang pendidikan fisika berbasis budaya lokal, terutama saat mengembangkan media pembelajaran astronomi berbasis budaya, rasa-rasanya berada di jalur yang cukup sepi peminat yang membuat dirinya sulit untuk berdiskusi.
“Lama-kelamaan, saya sempat merasa ragu, apakah yang saya pelajari ini cukup penting? Apakah ada yang akan peduli? Rasa sepi itu makin terasa ketika harus mengambil keputusan-keputusan besar secara mandiri,” ungkapnya.
Namun, pengalaman itulah yang justru membentuk dirinya. Ia mempelajari bagaimana membangun jejaring secara proaktif, mencari komunitas yang satu visi, dan perlahan membentuk ruang diskusi sendiri.
Saat ini, ia menjadikan pengalaman itu sebagai kekuatan. Harus lebih tangguh secara mental, lebih mandiri dalam riset, dan lebih terbuka dalam membangun kolaborasi lintas bidang. Menurutnya hambatan itu bukan hanya tantangan, tapi proses pembentukan identitas akademik. (rzl/mgg)
