KUNINGAN (MASS) – Di era digital, keanehan lebih cepat viral dari pada kebaikan. Video pengajian tak biasa, ritual nyeleneh, hingga ajaran baru yang kontroversial, semuanya berlomba mengejar like dan engagement. Tapi di balik itu, muncul pertanyaan : apakah media sosial kini menjadi bahan bakar konflik keagamaan? Kementerian Agama RI akhirnya angkat suara dalam podcast Kuningan Mass terbaru yang membongkar sisi gelap dari agama sebagai tontonan.
Pada era media sosial, ajaran keagamaan tak lagi sekadar jalan spiritual, melainkan konten potensial untuk viralitas. Hal tersebut menjadi sorotan Dedi Slamet Riyadi, pejabat Kementerian Agama RI, dalam podcast Kuningan Mass. Ia menyebutkan, banyak konten yang sengaja dibuat nyeleneh demi popularitas, namun tanpa sadar memantik konflik di masyarakat.
“Keragaman sekarang bukan hanya karena perbedaan akidah atau ibadah, tapi juga karena perbedaan pendapatan dan kepentingan viral,” ujarnya.
Contohnya, demikian lanjutnya. Kelompok pengajian fiktif seperti “Gus Samsudin” di Kediri yang ternyata hanya settingan demi konten. Praktik seperti itu bisa memancing polemik, memperkeruh persepsi publik, dan bahkan memicu keresahan.
“Yang nyeleneh lebih mudah viral dari pada yang biasa. Akhirnya, ada yang sengaja buat konten aneh agar diperhatikan,” lanjutnya.
Menurut Dedi, perbedaan yang dulu dikelola secara lokal kini bisa melebar secara nasional, bahkan global, hanya lewat satu unggahan video. Ketika konten agama dikomodifikasi tanpa kontrol, risiko terbesarnya yaitu gesekan antar umat bahkan dalam satu agama sekalipun.
“Dulu konflik hanya antar agama. Sekarang, sesama muslim pun bisa berselisih karena perbedaan cara atau aliran, dan medsos mempercepat itu,” jelasnya. (argi)
Selengkapnya, yuk tonton podcastnya di bawah ini :