KUNINGAN (MASS) – Bocah perempuan usia 8 tahun di Kecamatan Luragung, diduga jadi korban pelecehan hingga alami pendarahan, oleh seorang buruh pabrik, inisial S, beberapa waktu belakangan.
Hal itu menjadi ramai setelah pengakuan sang nenek, yang ditanyai warga sembari divideokan, menyebar di media sosial. Korban anak sendiri, disebut-sebut tak punya ibu, alias piatu.
Kejadiannya diperkirakan pada hari Minggu (12/10/2025) kemarin di lingkungan sebuah pabrik beras wilayah Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan.
Sang anak masih usia sekolah dasar, tepatnya kelas 1. Ia dikabarkan mengalami pendarahan dan kesakitan hingga sulit berjalan setelah kejadian.
Merespon hal itu, Masyarakat Peduli Kuningan (MPK), menilai bahwa kasus ini merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan dan moral publik. MPK menegaskan bahwa kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan di tingkat desa, musyawarah, maupun secara kekeluargaan.
“Upaya demikian bukan hanya melanggar etika, tetapi juga bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia,” kata pentolan MPK, Yusuf Dandi Asih didampingi Yudi Setiadi, Jumat (17/10/2025).
Secara yuridis, lanjut MPK, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak diancam dengan pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal lima belas tahun, serta denda hingga lima miliar rupiah.
Lebih lanjut, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 menegaskan bahwa tindak pidana terhadap anak tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Bahkan, Pasal 221 KUHP memberikan sanksi pidana bagi siapa pun yang menutupi atau menghalangi proses hukum.
Dengan demikian, kata MPK, pihak desa, tokoh masyarakat, maupun keluarga korban dan pelaku tidak memiliki kewenangan untuk memediasi atau mendamaikan perkara ini. Penanganan sepenuhnya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum—termasuk Polres Kuningan, Kejaksaan, serta lembaga perlindungan anak terkait.
Dalam keterangannya, Yudi Setiadi menegaskan bahwa kasus ini harus ditangani secara transparan, tegas, dan tanpa kompromi.
“Korban RS adalah anak piatu yang seharusnya mendapat perlindungan penuh dari negara. Kasus ini tidak boleh diselesaikan secara diam-diam atau kekeluargaan. MPK menolak keras segala bentuk upaya damai di luar jalur hukum. Pelaku harus diproses secara pidana dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya agar menjadi pelajaran bagi siapa pun yang berani merusak masa depan anak,” ujar Yudi.
MPK juga mendesak DP3A Kabupaten Kuningan, P2TP2A, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk segera memberikan pendampingan psikologis, medis, dan hukum bagi korban.
Pihak pabrik beras tempat kejadian berlangsung, kata MPK, harus bertanggung jawab secara moral dan kooperatif dalam mendukung proses penyelidikan.
“Masyarakat diimbau tidak menyebarkan identitas korban demi menjaga martabat dan privasi anak,” pintanya, sembari mengabarkan saat ini MPK tengah mengawal keluarga korban untuk laporan resmi ke kepolisian.
Ia menegaskan, kejahatan seksual terhadap anak adalah pengkhianatan terhadap nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Kasus di Luragung ini menjadi peringatan keras bahwa Kabupaten Kuningan harus bersatu menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak.
“Negara wajib hadir untuk melindungi korban, menegakkan hukum dengan adil, dan memastikan pelaku mendapat hukuman setimpal,” ucap Yudi.
“Kuningan harus menjadi wilayah yang aman, beradab, dan menjunjung tinggi perlindungan anak. Penegakan hukum tanpa kompromi adalah bukti nyata keberpihakan terhadap kemanusiaan dan keadilan sosial,” tegasnya. (eki)