KUNINGAN (MASS) – Belakangan ini, ramai beredar klaim bahwa Tanah Pendopo Kuningan, masih milik Keraton Kesepuhan Kesultanan Cirebon.
Klaim itu disampaikan terbuka oleh Sultan Cirebon asal Kuningan, Heru Rusyamsi Arianatareja SPsi SH MH atau yang dulu mengaku sebagai Pangeran Kuda Putih.
Tanah Pendopo itu, disebut-sebut sebagai tanah ulayat Keraton Cirebon. Klaim yang cukup mengejutkan ini, kini dibantah oleh Maferdy Yulius SH MH S Pn M Kn, akademisi mantan dosen agraria sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah, baru-baru ini.
Lelaki yang juga suami dari Wakil Bupati Kuningan itu, menerangkan dari awal bagaimana Keraton Cirebon kehilangan kekuasaan dan wilayahnya.
“Kebetulan saya thesis terakhirnya adalah status tanah swapraja di Cirebon khususnya Keraton Kesepuhan Cirebon. Saya tidak mau masuk posisi yang mempermasalahkan ini apa dan siapa. Dalam tanda kutip begini, setahu saya Suktan Kesepuhan Cirebon Luqman Zainudin,” ujarnya mengawali paparan.
Dijelasakannya, Cirebon sebagai kerajaan, sudah berakhir statusnya sebagai kerajaan sejak tahun 1813. Hilangnya kekuasaan Cirebon itu, persis setahun setelah geger sepoy, kasus huru hara penyerbuan Rafles ke Keraton Jogjakarta yang menelan banyak korban di tahun 1812.
Pasca kejadian itu, Kerajaan Cirebon kemudian ditekan dan takut oleh Rafles (Letnan Gubernur) Inggris di Hindia. Cirebon memilih membuat perjanjian dengan Rafles.
“Kemudian tanggal 20 Juli 1813 Keraton Kesepuhan Cirebon membuat perjanjian penyerahan kepada Rafles. Penyerahan kepada Rafles yang isinya menyerahkan kekuasaan dan kewenangannya kepada Rafles,” terqngnya.
Disebutkan, ada 3 poin dalam perjanjian penyerahan tersebut:
- Menyerahkan seluruh kekuasaan dan kewenangannya kepada Rafles
- Menyerahkan seluruh wilayah kekuasaanya kepada Rafles, terkecuali lingkungan Keraton, Gua Sunyaragi dan tanah sekitarnya tanah keramat perburuan Sultan
- Sebagai gantinya Sultan akan diberikan tunjangan tahunan oleh Rafles.
“Sejak 1813 Keraton Kesepuhan sebagai kerjaan selesai ya. Sejak saat Keraton hanya berfungsi senagai lembaga pengembangan agama dan perlindungan adat,” tegasnya.
Sebagai buktinya, lanjut Ferdy, tanah di bawah Keraton diambil Rafles. Bahkan di beberapa wilayah, Rafles menerapkan sewa tanah dan perkebunan tebu di sekeloling Cirebon yang jadi awal mula kemunculan pabrik gula.
“Kemudian ketentuan tadi, perjanjian 20 Juli 1813, dilaksanakan oleh Patih Wangsa Direja kalo saya tidak salah tahun 1851, itu kemudian dilaksanakan,” ucapnya seolah mengisyaratkan bahwa semua tanah di luar yang dikecualikan di perjanjian Cirebon-Rafles, sudah bukan milik Keraton.
Bergeser soal tanah Pendopo Kuningan yang sempat diklaim sebagai tanah ulayat, Ferdy justru balik mempertanyakan klaim tersebut.
“Kalo disebut hak ulayat Keraton Kesepuhan Cirebon, pertanyaanya sejak kapan di Pulau Jawa ada hak ulayat?” kata Ferdy.
Hak ulayat itu, lanjutnya, biasanya berada di luar Pulau Jawa, terhadap suku-suku yang memiliki fam atau marga. “Kalo disebut tanah ulayat, punten dasar hukumnya apa?” sambungnya.
Keraton, lanjutnya, hanya punya tanah wewengkon, tanah hak turun temurun keluarga. Tanah Keraton Kesepuhan Cirebon, adalah yang dikecualikan dari perjanjian Rafles, yakni sekitar Goa Sunyaragi.
“(Makanya saat ada klaim tanah Pendopo) Jadi aneh, sesingkat pengetahuan saya, itu tidak pernah dikomplein oleh Keraton. Kalo diklaim dasarnya tanah ulayat, yasa, dia harus membuktikan panjang kali lebar karena bersentuhan pemerintah saat ini,” tegasnya.
Di luar soal tanah, Ferdy jugabercerita banyak hal yang bersinggungan dengan Keraton Cirebon, sampai sejarah VOC, Belanda dan Swapraja. (eki)
