JAKARTA (MASS) – Banjir besar yang melanda Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat pada akhir November hingga awal Desember 2025 memberikan pesan keras yang tidak boleh diabaikan bahwa ancaman terhadap bangsa tidak lagi hadir dalam bentuk agresi militer semata. Kerusakan lingkungan kini menjadi ancaman baru yang dapat memporak-porandakan ketahanan nasional: merusak infrastruktur vital, melemahkan ekonomi daerah, dan menimbulkan trauma sosial yang panjang.
Laporan Kompas (8/12/2025) menyebut bahwa Kementerian Lingkungan Hidup memeriksa delapan perusahaan yang beroperasi di hulu lima daerah aliran sungai (DAS)—Batang Toru, Garoga, Badili, Aik Pandan, dan Sibuluan. Tiga di antaranya dihentikan operasionalnya karena diduga memberi kontribusi signifikan terhadap banjir yang terjadi. Pemerintah kemudian mewajibkan audit lingkungan untuk menelusuri lebih jauh tekanan ekologis yang muncul akibat aktivitas tersebut.
Data BNBP per 15 Desember 2025 memastikan korban meninggal setidaknya 1029 jiwa, korban hilang sebanyak 206 jiwa, korban luka sebanyak 7000 orang, serta daerah terdampak sebanyak 52 Kabupaten, sehingga ribuan warga terpaksa mengungsi, kehilangan desa dan asset produksi. Dampak kerugian yang signifikan ini menjelaskan bahwa yang kita hadapi bukan lagi isu lingkungan biasa, melainkan terganggunya fondasi ketahanan negara akibat rusaknya ekosistem dan DAS yaitu kawasan dengan fungsi ekologis strategis.
Bela Negara dalam Tantangan Abad ke-21
Hari Bela Negara yang diperingati setiap 19 Desember merujuk pada keberanian Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1948 dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Berbeda dengan saat itu, ancaman terhadap negara hari ini tampil dalam bentuk yang berbeda. Kerusakan Daerah Aliran Sungai, deforestasi, perubahan bentang alam, dan hilangnya fungsi ekologis memiliki dampak sistemik terhadap tiga pilar utama ketahanan nasional: air, pangan, dan energi.
Bela negara tidak lagi cukup dimaknai sebagai kesiapan menghadapi ancaman bersenjata.
Bela negara kini berarti menjaga keberlanjutan tanah air yang berarti negara ada jika dapat menjaga keberlanjutan tersebut.
Tanpa ekosistem yang utuh, negara kehilangan kemampuan dasarnya untuk bertahan dan bahkan identitasnya. Karena itu, menjaga sungai, gunung, hutan, dan tanah air bukan sekadar urusan teknis lingkungan, tetapi merupakan tindakan bela negara paling autentik. Alam yang rusak melemahkan ketahanan bangsa bangsa; sedangkan alam yang terjaga memperkuat kedaulatan jangka panjang.
Ironi Penghargaan dan Laporan Keberlanjutan.
Ironisnya, sejumlah perusahaan yang kini diperiksa justru selama bertahun-tahun dikenal aktif menerbitkan laporan keberlanjutan (ESG reporting) dan mendapatkan penghargaan lingkungan seperti PROPER. Beberapa perusahaan perkebunan di Mandailing Natal pernah meraih PROPER Biru pada 2024, sebuah perusahaan tambang besar di Tapanuli Selatan rutin menerima penghargaan CSR, dan beberapa unit BUMN perkebunan tercatat memiliki rekam jejak PROPER Biru maupun Hijau.
Bursa Efek Indonesia menyatakan bahwa praktik keberlanjutan di pasar modal Indonesia menunjukkan tren positif. Hingga Juni 2025, hampir 90 persen perusahaan tercatat telah menyampaikan laporan keberlanjutan mereka, dan jumlah produk investasi berbasis ESG tumbuh pesat, yang dari hanya satu pada 2015 menjadi 26 pada 2025. Rata-rata skor ESG emiten dalam indeks IDX80 pun menunjukkan perbaikan, mencerminkan meningkatnya kesadaran investor dan emiten terhadap aspek keberlanjutan.
Namun penghargaan administratif tersebut tidak mencegah atau memperlambat kerusakan di hulu DAS. Di sinilah terlihat kesenjangan besar antara narasi keberlanjutan yang disampaikan dalam laporan ESG dan realitas ekologis di lapangan.
ESG Reporting Masih Bersifat Simbolik
Pertanyaan pun muncul: bagaimana mungkin perusahaan yang selama ini “taat regulasi” bisa tetap menjadi objek penghentian operasional dalam bencana ekologis? Jawabannya: karena banyak ESG reporting yang selama ini dikembangkan bersifat simbolik atau menjaga citra perusahaan, bukan substantif atau menjaga alam.
Laporan keberlanjutan umumnya menonjolkan daftar panjang kegiatan CSR, penanaman pohon, atau pelatihan masyarakat. Namun isu yang paling kritis—seperti tekanan terhadap DAS, risiko longsor, dan perubahan bentang alam—sering diabaikan atau tidak dijelaskan dengan kedalaman yang memadai.
Refleksi untuk Reformasi ESG yang Menguatkan Bela Negara
Dalam kerangka bela negara berbasis keberlanjutan, laporan keberlanjutan tidak lagi dapat diposisikan sebagai dokumen administratif yang disusun sekadar untuk memenuhi kewajiban regulasi. Ia adalah instrumen strategis negara dan masyarakat untuk memahami risiko ekologis, menilai kapasitas adaptasi, dan memastikan bahwa pembangunan berlangsung dengan penuh tanggung jawab antargenerasi.
Karena itu, para penyusun laporan keberlanjutan, baik perusahaan maupun konsultan pendampingnya perlu pertama, menempatkan risiko ekologis sebagai inti pelaporan sehingga memberi ruang yang memadai untuk informasi kerentanan alam yang substansial dan dapat menentukan arah kebijakan publik. Pelaporan yang hanya menampilkan berbagai inisiatif positif justru kehilangan fungsi strategisnya sebagai mekanisme pencegahan. Kualitas pelaporan bukan hanya cerminan perusahaan, tetapi juga representasi bela negara sebagai komitmen kita bersama terhadap keberlanjutan Indonesia.
Kedua, para penyusun laporan memang perlu mengedepankan profesionalitas dan independensi konsultan dalam tugas menyusun laporan yang kredibel bagi perusahaan namun lebih dari itu, peran ini juga menuntut standar etika yang lebih tinggi yaitu etika keberlanjutan yaitu dengan menjaga objektivitas dan menegaskan isu-isu material yang mungkin kurang nyaman.
Ketiga, perlunya urgensi assurance independen sebagai fondasi keandalan informasi. Tanpa mekanisme tersebut, laporan keberlanjutan mudah terjebak pada selektivitas data. Assurance independen—berdasarkan AA1000AS atau ISAE 3000—memberikan jaminan kualitas yang sangat dibutuhkan dan memastikan klaim keberlanjutan memiliki dasar metodologis yang kuat. Dalam perspektif bela negara, validasi data bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi prasyarat bagi pengambilan keputusan publik yang melindungi keselamatan masyarakat terutama penduduk setempat.
Untuk mengubah ESG dari simbol menjadi substansi, Indonesia perlu melakukan reformasi structural yaitu mewajibkan assurance, mengadopsi materialitas dampak (impact materiality) sesuai IFRS S1–S2, menjadikan pengelolaan DAS sebagai isu ketahanan nasional, mereformasi PROPER dan mengintegrasikan perspektif keberlanjutan dalam kurikulum bela negara di seluruh pendidikan kewarganegaraan.
Reformasi ini menempatkan ESG dalam kerangka yang lebih besar: bukan sekadar alat pelaporan perusahaan, tetapi pilar penting dalam menjaga keberlanjutan bangsa. Banjir Sumatera–Aceh 2025 harus menjadi titik balik. Inilah saatnya mengukuhkan bela negara berbasis keberlanjutan.***
Penulis : Dianwicaksih Arieftiara Profesor Akuntansi Keberlanjutan, FEB UPN Veteran Jakarta










