KUNINGAN (MASS) – Setiap malam Khalifah Umar bin Khathab terbiasa untuk meronda, melihat keadaan rakyat yang dipimpinnya dari dekat. Saat Umar melewati sebuah gang, tiba-tiba langkahnya tertahan. Dari bilik sebuah rumah kecil, Umar mendengar seorang ibu sedang bercakap-cakap dengan anaknya.
“Tidakkah kau campur susumu? Hari sudah menjelang pagi,” kata ibu kepada anaknya. “Bagaimana mungkin aku mencampurinya. Amirul Mukminin melarang perbuatan itu,” jawab si anak. “Orang-orang juga mencampurinya. Campurlah! Amirul Mukminin tidak mengetahuinya,” balas sang ibu.
”Jika Umar tidak melihatnya, Tuhan Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukannya karena sudah dilarang,” jawab si anak yang sungguh menyentuh hati Umar.
Nukilah kisah di atas menggambarkan motivasi seseorang dalam bekerja. Dan, bekerja itu bagian dari ibadah. Dua hal yang membedakan, motivasi seseorang bekerja untuk kerja dan motivasi bekerja untuk beribadah. Di manakah posisi motivasi dalam bekerja kita?
Pertama, bekerja untuk kerja. Hal ini diperankan oleh seorang ibu dalam kisah di atas. Dalam hal ini, orang bekerja yang motivasinya untuk kerja akan cenderung menghalalkan segala macam cara untuk tujuan dalam mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Bahkan, ia akan cenderung melakukan segala macam cara yang sekalipun itu dengan cara yang batil. Padahal hal itu terlarang dalam agama.
Dalam hal ini, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (Q.S. An-Nisa [4]: 29).
Kedua, bekerja untuk beribadah. Hal ini diperankan oleh sang anak dalam kisah di atas. Orang bekerja yang motivasinya untuk beribadah, untuk mendapatkan hasil yang baik, diperoleh dengan cara yang baik pula. Yakni, dengan cara yang dibenarkan oleh Allah SWT.
Al-Quran telah memperingatkan bahwa harta adalah ujian. Harta merupakan ujian yang sangat berat, dapat menyibukkan hati ketika menikmatinya, dan dapat pula membuat hati terlena dari mengingat Allah SWT.
Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (Q.S. Al-Munafiqun [63]: 9).
Oleh karena itu, motivasi kerja yang harus senantiasa terpatri dalam jiwa adalah motivasi untuk beribadah. Bekerja menjadi sarana untuk beribadah. Untuk itu, kita persembahkan yang terbaik dalam bekerja.
Allah SWT berfirman, “Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105).
Karena sebagai sarana ibadah, maka bekerja tidak lagi sebatas dorongan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Akan tetapi, yang jauh lebih penting dari itu semua adalah meningkatkan kualitas pekerjaan.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, ia mengerjakannya secara professional.” (H.R. Thabrani dan Baihaki).
Seorang mukmin itu tidak akan menyelesaikan pekerjaan secara asal-asalan, berlaku seenaknya, atau melakukan kecurangan. Sebab, seperti dalam kisah yang dinukilkan di atas, meskipun atasan tidak melihat secara langsung, tapi Allah Maha Mengawasi hamba-hamba-Nya.
Selain harus dengan kesungguhan, pekerjaan perlu ditunaikan dengan ikhlas. Ikhlas menjadi etos kerja dalam Islam. Tanpa keikhlasan, kerja yang bernilai ibadah tidak akan mendatangkan pahala dan keberkahan.
Allah SWT berfirman, “Dan mereka (jin dan manusia) tidak disuruh beribadah kepada Allah, melainkan dengan penuh keikhlasan karena-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” (Q.S. Al-Bayyinah [98]: 5).
Seringkali pekerjaan sudah kita tunaikan dengan baik, tidak diapresiasi oleh atasan. Kedongkolan kadang tertumpah. Namun hal seperti ini tidak akan terjadi pada diri orang yang ikhlas. Baginya, atasan bisa saja lalai, tapi Allah tidak akan pernah melalaikan sekecil apapun amal kebaikan yang telah dikerjakannya.
Semoga Allah membimbing kita kaum Muslimin agar dapat bekerja dengan motivasi untuk beribadah sehingga menerima gaji di dunia dan menerima pahala untuk akhirat. Amin.
Penulis : Imam Nur Suharno (Penceramah)