KUNINGAN (MASS) – Bayangkan sebuah proyek pemerintah telah dilelang, anggarannya keluar, proses seleksinya selesai. Tiba-tiba, tanpa ada penjelasan yang terang, proyek itu dibatalkan begitu saja. Lalu pemerintah berkata: “Tidak apa-apa, kita akan lelang ulang tahun depan dengan izin pusat.”
Apakah itu menyelesaikan masalah? Tentu tidak. Yang hilang bukan hanya soal administrasi, melainkan soal akuntabilitas, kepastian hukum, dan kredibilitas pemerintah.
Begitu pula dengan Open Bidding (OB) Sekda 2024. Ia bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan proses yang menyangkut integritas sistem meritokrasi. Jika OB 2024 dibatalkan, maka publik berhak tahu apa dasar hukumnya.
Jika tidak ada pembatalan resmi, maka OB 2024 tetap sah secara hukum, dan mengabaikannya adalah bentuk pelecehan terhadap prosedur dan hukum itu sendiri.
Di sini saya justru berharap akademisi seperti Bapak Dadang Cunandar, dapat mengurai pertanyaan mendasar ini, bukan menggeser perhatian publik ke OB 2025. Sebab narasi semacam itu hanya memperlebar kabut, bukan memperjelas jalan.
Baca:
OB Sekda Diulang; Menyeimbangkan Kepentingan Hemat Anggaran dan Kebutuhan Tim Kerja Yang Solid
Sederhananya: izin OB 2025 dari Kemendagri pasti lahir dari sebuah permohonan. Dan dalam permohonan itu pasti ada alasan yang mendasari, termasuk status OB 2024. Inilah yang harus dibuka ke publik.
Saya tidak menolak OB 2025. Tapi saya menolak keras cara pemerintah seolah bisa menutup persoalan OB 2024 dengan agenda baru. Publik tidak butuh alih isu. Publik hanya butuh kejujuran, fakta hukum apa yang sebenarnya menjadi pertimbangan pemda dalam mengajukan permohonan OB 2025?
Kalau inti persoalnya dijawab terbuka oleh Pemda saya rasa persoalan ini tidak akan berlarut-larut.
Oleh: Sadam Husein, aktivis Kuningan.
*Tulisan ini adalah analogi sederhana -bahasa bayi dalam istilah saat ini- agar publik bisa memahami duduk persoalan. Secara khusus, opini ini merupakan tanggapan untuk Dosen Dosen STKIP Pancakarya, Dadang Cunandar, dalam opini sebelumnya.
