KUNINGAN (MASS) – Apa yang terjadi di Gereja Katedral Makassar serta kasus percobaan bom di Mabes Polri adalah tindakan yang lagi-lagi lolos dari program deradikalisasi pemerintah. Sejak 3 tahun lalu, BPIP yang dibentuk sebagai pionir aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan instrumen dalam menghalau radikalisasi, hanya diselesaikan dalam ruang seminar dan kurikulum ‘cinta tanah air’.
Dalam perspektif pemerintah, menangani kasus ini harus berani mengungkap kepada publik identitas pelaku, hingga aktifitas yang terindikasi bersentuhan dengan kelompok tertentu, dengan tidak mengedepankan tendensi pada kelompok yang sering mengkritik pemerintah.
Sinergisitas dengan NU dan Muhammadiyah selaku 2 organisasi terbesar perspektif kebangsaan ini harus terus terjalin. Bagaimana memperhatikan traumatik korban teror serta melakukan langkah antisipatif by design, lebih galak lagi dalam menjangkau masyarakat terutama akses pengetahuan Islam dari keluarga tersangka. Lalu dengan kejadian ini, apakah membuat Islam lagi-lagi tercoreng?
John Bowen, melihat bahwa dalam memahami Islam secara utuh, maka interpretasi Islam harus sering ditonjolkan. Interpretasi ini berasal dari teks dan konteks yang dilakukan dalam keseharian. Kita akui saja, pelaku teror bom bunuh diri itu adalah umat Islam. Namun perilaku dan tindak tanduk baik kepada sesama yang selalu ditunjukkan oleh kaum muslim di Indonesia, tidak akan lagi membuat Islam menyabet stigma agama teroris.
Apa yang disampaikan Boden soal How to Think about Islam, diperkuat dengan dalil Al-Quran yang termaktub dalam Surat Ar-Rahman ayat 60. Syaikh Muhammad bin Shalih, seorang ulama kontemporer memahami bahwa makna ‘tidak ada balasan kebaikan kecuali (dengan) kebaikan pula’ pada dalil tersebut adalah perintah untuk kaum muslimin agar beribadah dengan baik kepada Allah dan menunjukkan perilaku baik pada sesama.
Ini akan membuat kita memperoleh pahala yang melimpah dalam perspektif ukhrawi dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera dalam perspektif sosial masyarakat (universal). Di sini berarti bahwa bagaimana masyarakat kita menjadikan humanisme sebagai landasan nilai universal sudah dimulai sejak awal.
Singkatnya, tanpa mereduksi makna empati saya pada korban, kejadian ini tidak akan mempengaruhi ‘kondisi sosial masyarakat’ daripada kasus teror yang lalu, namun lolosnya teror ini dalam deradikalisasi pemerintah sangat disayangkan.***
Penulis: Ryan Aldi Nugraha (Warga Desa Sampora Kecamatan Cilimus)