KUNINGAN (MASS) – Beberapa minggu terakhir ini, berbagai daerah di Indonesia dihebohkan dengan kasus gagal ginjal akut misterius yang banyak terjadi pada anak. Insiden kasus gagal ginjal akut ini, mulai terjadi peningkatan yang signifikan terutama di dua bulan terakhir yaitu bulan Agustus dan September 2022.
Berdasarkan informasi Kemenkes RI, sampai dengan tanggal 23 Oktober 2022 ini kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak sudah mencapai 245 kasus yang terjadi di 26 Provinsi di Indonesia. Sebesar 80 % kasus diantaranya terjadi di delapan Provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara. Adapun angka fatality rate atau yang meninggal tergolong tinggi sebanyak 141 kasus atau sebesar 57,6 %.
Dalam hal ini pemerintah telah bergerak cepat untuk melakukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak. Melalui kerjasama yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan RI, BPOM, IDAI, Ahli Epidemiologi, Farmakolog dan Puslabfor Polri ditemukan hasil yaitu adanya paparan senyawa kimia berbahaya dari obat sirop yang diminum. Adapun senyawa kimia tersebut adalah etilen glikon dan dietilen glikol.
Hasil pemeriksaan ini melalui berbagai kajian mulai dari analisa toksikologi pasien, penyelidikan terhadap obat – obatan yang dikonsumsi pasien, bukti biopsi yang menunjukan kerusakan ginjal pasien serta adanya zat kimia ini di obat – obatan yang ada dirumah pasien. Hasil inipun diperkuat oleh laporan WHO, dengan adanya kesamaan kasus yang terjadi di Gambia dimana sebanyak 66 anak meninggal dengan gagal ginjal akut. Hal ini dicurigai karena pasien mengonsumsi obat yeng tercemar senyawa kimia berbahaya yaitu etilen glikol.
Oleh karenanya, WHO per tanggal 5 Oktober ini telah mengeluarkan peringatan atas 4 obat sirop dengan kandungan etilen glikol di Gambia. Menyikapi hal tersebut pemerintah melalui Kemenkes RI telah melakukan langkah konservatif dengan mengeluarkan surat edaran yang meminta tenaga kesehatan diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan serta semua apotek untuk sementara tidak meresepkan obat – obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop kepada masyarakat sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
“Sejak kita berhentikan, itu sudah kita amati penurunan yang drastis dari pasien baru masuk ke rumah sakit. Jadi kalau tadinya RSCM itu penuh, satu tempat tidur ICU anak itu bisa diisi dua atau tiga, sekarang penambahan barunya sejak kita larang itu turun drastis pasien barunya,” ujar Menkes. (Setkab.go.id, 24 Oktober 2022).
Hasil pemeriksaan BPOM terhadap obat dengan sediaan cair/sirop didapatkan hasil yaitu beberapa obat diduga mengandung etilen glikol dan dietilen glikol. Hasil pemeriksaan ditemukan tidak hanya sebagai kontaminan tetapi juga mengandung toksik yang sangat tinggi dan berbahaya bagi kesehatan tubuh terutama fungsi ginjal.
Beberapa obat yang dimaksud yaitu unibebi cough obat batuk, unibebi demam drops, unibebi demam sirup yang kesemua obat tersebut pemilik izin edarnya yaitu Universal Pharmaceutical Industries. Selain obat tersebut terdapat pula dua obat sirup yang dilarang beredar oleh BPOM terhitung tanggal 19 Oktober 2022 yaitu Termorex sirup produksi PT Konimex serta Flurin DMP sirup obat batuk dan flu, produksi PT Yarindo Farmatama.
Selain obat cair/sirup yang dilarang untuk dikonsumsi, BPOM juga mengumumkan hasil pemeriksaannya untuk obat yang tergolong aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Adapun hasilnya diperoleh bahwa 156 obat sudah bisa diberikan kembali kepada masyarakat. Situasi ini memungkinkan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan dapat meresepkan kembali 156 obat dengan sediaan cair/sirop.
Hal ini tertuang dalam Surat Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Nomor: HK.02.02/III/3515/2022 tentang Petunjuk Penggunaan Obat Sediaan Cair/Sirup pada Anak dalam rangka Pencegahan Peningkatan Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA)/(Atypical Progressive Acute Kidney Injury) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 2022. (Setkab.go.id, 24 Oktober 2022).
Berdasarkan surat edaran tersebut dipastikan bahwa 156 obat yang tercantum dipastikan tidak menggandung propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliserin/gliserol, dan aman sepanjang digunakan sesuai aturan pakai. Selain 156 obat tersebut, Kemenkes juga sudah memperbolehkan 12 jenis obat yang sulit digantikan dengan sediaan lain.
Kandungan zat aktif dalam obat tersebut seperti asam valproat, sildenafil, dan kloralhidrat dapat digunakan. Adapun penggunaannya harus melalui monitoring ketat oleh tenaga kesehatan. Oleh karenanya,apotek dan toko obat bisa menjual bebas dan/atau bebas terbatas 156 serta 12 obat tersebut kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain faktor tersebut, Kemenkes dalam hal ini juga menghimbau semua dinas kesehatan Provinsi, dinas kesehatan Kabupaten/Kota serta fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pengawasan serta memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penggunaan obat sirup sesuai dengan kewenangan masing – masing. Adapun untuk penggunaan jenis obat sirup lainnya akan diberitahukan kembali setelah BPOM selesai melakukan pengujian.
Masyarakat dalam hal ini orangtua diminta untuk tetap tenang dan terus waspada terutama dalam penggunaan obat sediaan cair/sirup untuk anak. Masyarakat perlu selektif dalam memilih obat bebas atau bebas terbatas yang dijual diapotek dengan memperhatikan prinsip keamanan sesuai dengan aturan dan menggunakan obat keras sesuai dengan resep dokter.
Selain itu orangtua juga perlu untuk lebih aktif mencari informasi tentang kasus gagal ginjal akut pada anak baik melalui media cetak maupun elektronik. Orangtuapun perlu diberikan edukasi untuk mengenali tanda dan gejala awal gangguan ginjal akut atipikal progresif pada anak. Oleh karenanya, dibutuhkan kerjasama yang efektif terutama dari petugas kesehatan setempat dalam hal ini fasilitas kesehatan dasar untuk memberikan edukasi tentang deteksi dini dan tata laksana sederhana yang bisa dilakukan oleh orangtua.
Menurut Kemenkes (2022), dalam hal ini diperlukan kewaspadaan dini oleh masyarakat maupun fasilitas kesehatan terhadap kasus Atypical Progressive Acute Kidney Injury melalui deteksi dini anamnesis kasus pada anak yang dicirikan gejala seperti penurunan produksi urin dan dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium serta tatalaksana penyakit. Berikut ini deteksi dini pada fasilitas kesehatan dan masyarakat berdasarkan sumber laporan Kemenkes RI (2022):
a. Pada Masyarakat
Kewaspadaan dini pada tahap pra-rumah sakit (masyarakat) yaitu bila ditemukan:
- Pasien berusia <18 tahun, dan
- Gejala demam, gejala infeksi saluran pernapasan akut (batuk; pilek), atau gejala infeksi saluran cerna (diare, muntah), maka orang tua/keluarga akan membawa pasien ke FKTP terdekat.
b. FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama)
Pada FKTP setelah mendapat pasien dengan gejala klinis tersebut, FKTP dapat melakukan pemeriksaan dan edukasi kepada orang tua untuk memantau tanda bahaya umum ditambah pemantauan jumlah dan warna urin (pekat atau kecoklatan) di rumah. Bila urine berkurang (urine dikatakan berkurang jika berjumlah kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam dalam 6-12 jam) atau tidak ada urine selama 6-8 jam (saat siang hari), maka pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit.
Penulis : Ns. Nanang Saprudin, S.Kep., M.Kep (Dosen Departemen Keperawatan Anak STIKes Kuningan)