KUNINGAN (MASS) – Menyikapi pemberitaan di media cetak atau elektronik terkait isu-isu perselingkuhan ataupun nikih siri di kalangan pejabat publik setingkat anggota dewan yang sedang hangat diperbincangkan di masyarakat, tentunya menyayat hati kita semua.
Gimana tidak prihatin, dari berbagai isu perselingkuhan sampe nikah siri,alangkah ironisnya. Padahal apa yang tengah diisukan sekarang ini belum tentu kebenarannya. Beda dengan halnya perselingkuhan yang terjadi sebelumnyai.
Hal yang sekarang yang tengah hangat diperbincangkan yaitu mengenai nikah siri ataupun nikah dibawah tangan yang dilakukan anggota dewan dari partai Gerindra yang notabennya sebagai Ketua Fraksi di DPRD Kabupaten Kuningan. Namun dari segi norma agama, syah-syah saja. Asalkan hidup dengan rukun adil. Beda dengan halnya perselingkuhan.
Nikah siri (pernikahan rahasia) sah secara agama Islam jika memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun tidak diakui secara hukum negara. Perselingkuhan adalah hubungan seksual dengan orang yang bukan suami/istri sah, yang merupakan perbuatan zina dan dosa besar.
Pemberitaan-pemberitaan ataupun opini yang menyangkut nama Toto tohari SE selaku Ketua Plt DPC Partai Gerindra tidak semuanya benar. Seharunya, sebagai insan pers sebelum mengangkat ataupun memberitakan hal ini sebaiknya mengklarifikasi kebenarannya sehingga tidak menimbulkan fitnah yang akhirnya berdampak bukan saja merugikan Marwah partai tetapi nama baik pribadi dan keluarga.
Setelah Ki Anom bertabayun kepada bersangkutan bersama rekan-rekan dari berbagai kalangan yang dikomandoi penasehat hukum bapak Haris SH,ternyata pemberitaan itu bertolak belakang dengan apa yang diberitakan. Seperti halnya narasi Toto Tohari berselingkuh, Toto tohari istri muda ingin ditikah resmi. Apalagi itu diberitakan langsung menyebut nama tanpa inisial menurut keterangan Toto Tohari, padahal kalau untuk diadukan ke dewan pers ini jelas jelas melanggar kode etik.
Menurut beliau (Toto Tohari) padahal Kode etik jurnalistik mengharuskan wartawan untuk menghormati hak narasumber atas kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik, dan tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
Kode etik ini juga melarang pencemaran nama baik, termasuk melanggar hak narasumber untuk memberikan hak jawab atau hak koreksi jika ada berita yang merugikan. Selain kode etik, pencemaran nama baik juga diatur dalam undang-undang, seperti UU Pers dan KUHP.
Namun dengan segala kerendahan hati beliau tidak mau kasus yang menyangkut nama baiknya beserta keluarga besar parati Gerindra cukup dengan islah. adapun pemberitaan yang sudah terlanjur dimuat beliau hanya bisa mendoakan smoga hikmah dibalik ini menjadi pembelajaran untuk dirinya kedepan agar lebih baik dan bisa menjaga Marwah Partai Gerindra.
Penulis: Ki Anom Al-Aziz
Yayasan Al-aziz Mubarok
Pemerhati sosial
