KUNINGAN (MASS) — Kabupaten Kuningan kembali diguncang rentetan kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Ironisnya, pelaku berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi teladan, seperti oknum guru, pengajar agama, bahkan pejabat. Fenomena tersebut menuai keprihatinan luas di tengah masyarakat, termasuk dari kalangan akademisi dan pegiat sosial.
Yogi Mochammad Iskandar Panambah, mahasiswa Hukum asal Kuningan yang juga aktif dalam kegiatan sosial, menyampaikan kecamannya atas maraknya kasus tersebut.
“Ini bukan hanya kejahatan hukum, tapi kegagalan sistem perlindungan anak. Saat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi predator, maka kita sedang menghadapi darurat moral dan hukum,” ujarnya, Jum’at (25/7/2025).
Berdasarkan hasil kajiannya, ia menyebutkan beberapa kasus telah dilaporkan sejak awal tahun 2025, dengan korban dari kalangan pelajar sekolah dasar dan menengah, santri, hingga anak disabilitas. Modusnya pun beragam, dari bujuk rayu, intimidasi, hingga pemanfaatan posisi kuasa pelaku.
“Banyak keluarga korban takut bicara karena pelaku punya posisi sosial atau politik yang kuat. Ini menciptakan budaya diam yang sangat berbahaya. Padahal anak-anak itu seharusnya dilindungi, bukan dilukai apalagi dicabuli,” tambahnya.
Persoalan itu tak bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum semata, demikian lanjutnya. Diperlukan pendekatan multidimensi, yakni edukasi seksual berbasis usia di sekolah, pelatihan pencegahan pelecehan bagi guru dan orang tua, serta peran aktif lembaga agama dalam membina moral, bukan justru membungkam korban demi nama baik.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, akademisi, dan organisasi pemuda, untuk tidak tinggal diam.
“Anak-anak ini masa depan bangsa. Jika kita biarkan predator tumbuh di ruang publik, maka kita sedang menyiapkan generasi yang rusak sejak dini,” pungkasnya. (argi)
