Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass
https://www.google.com/adsense/new/u/0/pub-3893640268476778/main/editContentAds?webPropertyCode=ca-pub-3893640268476778&adUnitCode=1128420475 Smart Widget MGID

Netizen Mass

Absurditas Moral Kepemimpinan?

KUNINGAN (MASS) – Setiap daerah punya kemampuan berbeda dalam pengelolaan keuangan. Tetapi terdapat kredo yang yang sama-sama dimengerti semua pihak bahwa penggunaan uang belanja daerah harus didistribusikan dengan kecermatan, kemanfaatan, transparan, dan akuntable. Fenomena gagal bayar yang dihadapi pemerintah Kabupaten Kuningan senilai 99 Milyar itu sebenarnya pernah pula dialami oleh sejumlah pemerintah daerah kabupaten lain di Indonesia. Tetapi penyelesaiannya lebih cepat dan tidak menumpuk dalam waktu yang cukup lama. Mengutip Allen Schick (1999) dalam buku A Contemporary Approach to Public Expenditure Management memberikan dasar pengetahuan bahwa pembelanjaan uang APBD setidaknya melalui kerangka mekanisme yang berbasis kebijakan atau adanya peraturan yang disepakati bersama, peran stakeholder dan informasi menyeluruh (rule, role, and information).

Semua mahfum perencanaan pembangunan di Kuningan adalah hasil kesepakatan legislatif dan eksekutif ditambah stakeholder. Dengan asumsi ini rencana pembangunan dan pembiayaan suatu proyek telah matang dibincangkan dalam skala yang relatif terbuka. Relatif terbuka menandakan keterlibatan banyak pihak, informasi detail yang diketahui dan dibahas oleh banyak pihak pula. Selain kisah pemenangan dalam hal lelang pekerjaan, patut diyakini bahwa semua rencana proyek pembangunan atau keputusan belanja public telah berjalan di atas meja. Kertas-kertas rencana kerja, detail pekerjaan alias DED, visit titik lokasi proyek, penyiapan lahan, tentu telah selesai dibahas di meja kerja para anggota dewan, para eksekustif dan para aktivis pemerhati kebijakan. Namun yang menarik adalah tetap terjadi gagal bayar yang nilainya kurang dari dari 5% APBD Kuningan Tahun 2025.

Apapun jenis proyek pembangunan atau belanja asset atau belanja modal daerah itu merupakan pos belanja-belanja uang APBD yang didesain pada awal tahun anggaran. Bukankah jumlah uang masuk ke APBD selalu terukur setiap tahun?. Memang ada kisaran angka pendapatan yang bergerak terutama surplus dan juga bisa defisit dalam pendapatan. Tetapi yang menarik adalah mengapa pos belanja menjadi tidak terukur sehingga terjadi gagal bayar? Bahkan dalam sekian tahun menyandang derajat laporan keuangan WTP mendadak merosot menjadi WDP?

Advertisement. Scroll to continue reading.

Jelas persoalan yang mengemuka bukan terletak pada ketersediaan dana atau tidak tersedianya dana untuk membayar namun kepada moralitas kepemimpinan yang mengelola APBD. Berangkat dari logika dasar rule, role dan information yang memadai di tangan pejabat daerah maka tidak mungkin sebuah proyek pembangunan tidak tertakar secara keuangan, secara benefit, secara resiko. Apalagi ada bermacam metode pembayaran dalam belanja publik melalui SILPA, ada termin, ada celah multiyears ada pula turn key project dan sebagainya. Pun selalu ada manajemen resiko dalam proyek skala besar.

Moralitas kepemimpinan itu tidak hanya ditanggung seorang figur kepala daerah. Dalam kasus ini jelas ada unsur kolektivitas, dari level kepemimpinan kelas kepala dinas sampai para wakil rakyat yang mengetuk persetujuan rencana proyek2 dan semua belanja modal daerah. Tetapi pepatah popular menyebut “ikan busuk berawal dari kepala”. Selalu ada persetujuan dari pucuk pimpinan. Meskipun kolektivitas kepemimpinan 2024 yang mendesain kebijakan tetapi figur pucuk pimpinan pemerintah daerah saat ini dapat bertindak cekatan.

Dalam perspektif yang lebih luas, kisah gagal bayar ditambah kisah status WDP menandakan ada praktik fraud dalam pengelolaan keuangan daerah Kuningan. Fraud itu kecurangan sistematis terhadap keuangan. Kecurangan yang ditutup secara cermat melalui teknik layering untuk mendapatkan keuntungan lebih bagi satu pihak dan kerugian bagi pihak pemegang keuangan. Layering disusun sejak dalam tahap perencanaan pekerjaan, tahap seleksi, sampai tahap eksekusi pembayaran. Tetapi layering bukan pekerjaan yang bisa dikerjakan sendirian. Layering mesti disepakati dan diketahui bersama. Jika ada hal “aneh” selama tahap perencanaan dan diamini bersama sebagai hal lumrah maka di situlah indikasi awal layering. Karena telah diketahui bersama- sama, ini menggambarkan ada moralitas yang rapuh. Rapuh karena melihat kejanggalan namun menerima dan membiarkan kejanggalan berjalan dalam diskusi di meja-meja rapat.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Pembiaran terhadap kejahatan yang berlangsung di depan mata adalah bentuk lain dari kejahatan. Di sini perlu dorongan public untuk mengupas detail tahap demi tahap pada item belanja daerah yang mendapatkan sorotan tajam dari LHP BPK. Notasi BPK itu musti disampaikan ke publik untuk dikawal perbaikannya. Itu bukan jenis dokumen yang dikecualikan untuk diketahui masyarakat luas. Mengawal uang rakyat dan merencanakan postur APBD dapat dimulai dari keterbukaan informasi dan partisipasi publik. Tanpa dua hal itu maka potensi layering fraud akan dominan.

Merencanakan pembelanjaan uang rakyat selama satu tahun lewat APBD akan terasa penuh godaan. Bagaimana “menghabiskan” uang yang sudah didrop sebesar Rp 2,3 Triliun dari APBN. Tambah uang dari PAD sekitar Rp 430 milyaran. Jadi tugas kepemimpinan itu “menghabiskan” uang ke pos belanja yang reliable. Bayangkan, pejabat mana yang tidak tergoda menyusun pos-pos belanja yang memiliki rebound tinggi. Belanja modal dan belanja asset itu reboundnya tinggi. Cuan bagi kontraktor dan kroninya. Sudah bukan rahasia umum. Belanja barang habis pakai itu paling empuk untuk mendulang keuntungan. Belanja sosial dan hibah masyarakat itu paling potensial untuk menciptakan kerumunan politik yang loyal. Pos belanja untuk membiayai rapat, bayar tunjangan ini-itu, perjalanan dinas ke sana kemari itu merupakan pos paling diminati bagi semua birokrat dan pejabat teras. Yang sulit adalah mencari dan membawa masuk uang dari luar APBD untuk dicatatkan dalam APBD dan digunakan untuk membiayai program daerah. Tidak semua pejabat bisa melakukan. Yang sulit adalah membuat pos belanja yang efesien-terukur outputnya bagi masyarakat luas.

Ibarat orang yang hendak menggelar pesta hajat. Barang apa saja yang akan dibeli bergantung pada moralitas selera si empu hajat. Semakin royal dan prestisius maka semakin absurd barang yang dibelanjakan di panggung hajatan. Demikian pula membuat pos belanja daerah, semakin bermoral maka semakin berhemat dan efesien. Karena memang motiv di balik pos-pos anggaran daerah adalah pekerjaan moral. Moral yang tidak tergoda menggunakan APBD untuk membiayai selera dan kepentingan politisi dan personal cashback. Menggunakan dana rakyat untuk dikembalikan pada masyarakat itu tugas moral. Karena yang dihadapi Kabupaten Kuningan adalah realitas sebagai daerah termiskin kedua di Jawa Barat? Kabupaten Kuningan ditetapkan sebagai lokasi percontohan program linieritas pengentasan kemiskinan oleh Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia. Realitas tentang laju pertumbuhan pertanian terus merosot 1,6% setiap tahun, padahal Kuningan dikenal dengan bentang alam yang hijau dan subur. Realitas tentang SDM, pariwisata dan bermacam lagi. Aneka realitas itu perlu dihadapi dengan menetapkan motiv-motiv dasar pos APBD dan di situlah letak moral kepemimpinan yang humanis.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kisah penolakan kendaraan mobil dinas mewah oleh sejumlah pejabat di berbagai daerah menandakan urgensi humanitas dalam kepemimpinan. Dalam penelitian James Scott (2010) tentang moral economy menyebut keseluruhan tindakan petani dalam menanam padi, mempertahankan pola tanam, system panen, cara mengelola hasil panen, sikap terhadap hasil panen itulah moral ekonomi petani. Maka cara Bupati mengelola keuangan daerah, mengetuk sistem pembelanjaan, cara mengelola asset daerah, cara menetapkan ukuran kemanfaatan belanja daerah, sikap atas seluruh uang daerah adalah moral kepemimpinan Bupati. Jadi manakala muncul kegagalan membayar apalagi diatasi dengan langkah by pass: hutang ke pihak ketiga, menandakan adanya absurditas moral kepemimpinan. Karena di tangan Bupati terdapat sumber daya luar biasa yang dapat dikelola secara cerdik. Demikian pula fakta adanya temuan-LHP menunjukkan derajat turunnya kualitas rule, role and information kepemimpinan.

Menyambut perubahan APBD Kuningan nanti masih terbuka peluang melihat motiv dan cara yang digunakan Bupati untuk menutup aneka problema itu. Di sana lah akan tertakar kembali apakah moralitas kepemimpinan masih memandu motiv-motiv dibalik kebijakan ataukah akan menunjukkan absurditas moral kepemimpinan yang terus melorot.

Oleh :

Advertisement. Scroll to continue reading.

Atif Natadisastra

Dewan Pengawas Perkumpulan Silalatu Kuningan

 

Advertisement. Scroll to continue reading.
Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Advertisement Smart Widget MGID