KUNINGAN (MASS) – Kritik yang dilontarkan BEM Unisa melalui mentri kesehatannya Ilyani, berbuntut panjang.
Dosen Unisa yang juga kebetulan pegawai Dinkes berang. Ia mengancam Ilyani tidak akan memberi nilai.
Hal itu tentu jadi banyak perhatian. Simpati demi simpati muncul ke ruang public, terutama dari kalangan mahasiswa.
Terbaru dilontarkan Ketua UKM Silat Unisa, Dicky Firmansyah. Di awal keterangannya pada kuninganmass.com, dirinya menilai kritik BEM untuk Dinkes soal stunting, adalah bagian dari kebebasan warga negara.
Hal ini dalam mengeluarkan pendapat, kemerdekaan pikiran, dan hati nurani sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1).
Apalagi, masih menurut Dicky, kampus adalah tempat mahasiswa bernaung, seharusnya memfasilitasi hak konstitusional tersebut dengan menjamin kebebasan akademik para mahasiswanya.
“Terlebih, memang peran mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), dan penjaga moral (moral force), sehingga mereka memiliki kewajiban moral untuk melakukan kritik terhadap pemerintah,
Dicky menyebutkan, keterangan pihak kampus bahwa mereka sangat menghargai kebebasan menyampaikan pendapat, sangat bertolakbelakang dengan tindakannya yang justru melakukan pemanggilan kepada BEM Unisa dengan dalih meminta data dan fakta.
Pemanggilan tersebut yang disertai keterangan-keterangan pihak kampus yang menyudutkan BEM Unisa, dan adanya indikasi pengancaman terhadap mahasiswa khususnya mahasiswi Prodi Gizi secara eksplisit justru mencerminkan tindakan pengekangan kebebasan berpendapat mahasiswa.
“Selain itu, keterangan pihak kampus yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan BEM Unisa bukan cara menyampaikan pendapat yang benar adalah bentuk penyempitan hak-hak Konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat,” sebutnya.
Dicky sendiri berpandangan substansi kritikan BEM Unisa tersebut justru mencerminkan realitas politik yang seharusnya dijadikan evaluasi oleh pemerintah.
Pelbagai hal yang disampaikan pemerintah, dalam hal ini Dinkes, tentu wajar jika ditagih oleh masyarakat.
Dalam hal ini mahasiswa. Bahkan BEM Unisa juga mencantumkan pelbagai referensi mereka dalam membuat kritikan tersebut, sehingga kritikan tersebut memang ada basisnya.
“Poin-poin kritikannya pun juga menjadi kritikan organisasi masyarakat sipil terhadap pemerintahan kini, seperti menyoroti tingginya angka stunting di Kuningan,” ujarnya.
Pihak dosen seharusnya mendukung tindakan-tindakan mahasiswa yang berupaya mengoreksi dan memperbaiki realitas politik yang tidak konstruktif untuk demokrasi, bukan malah sebaliknya.
Lebih lanjut, Dicky menekankan kampus adalah tempat untuk tumbuh dan berkembangnya kebebasan berpikir, berpendapat, dan kemerdekaan pikiran. Dengan kondisi demikian, maka kampus seharusnya menjadi tempat untuk pilar-pilar demokrasi.
“Kritikan-kritikan terhadap pemerintah, justru menjadi cerminan implementasi ilmu yang dipelajari dikampus,” ucapya lagi.
Kritikan-kritikan tersebut bersumber dari daya kritis dan kepekaan sosial mahasiswa yang juga terasah dikampus.
Selain itu, memberi kritik merupakan salah satu peran signifikan mahasiswa dalam pengawasan secara langsung terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah.
Adapun dosen yang memanggil BEM Unisa sendiri merupakan pegawai perempuan Dinkes Indra. Saat dikonfirmasi soal pemanggilan tersebut, dirinya menolak memberikan keterangan lebih lanjut.
Ia meminta untuk langsung mengkonfirmasi ke pihak rektorat atau pimpinan Dinkes.
Meskipun begitu, saat ditegaskan pemanggilan mahasiswa itu soal dirinya sebagai dosen atau pegawai Dinkes, ia menyebutkan untuk konformasi ke rektorat saja. (eki)
Hendra Lesmana
19 Juli 2021 at 18:51
Hadeuuh hahaha caper sampe segitunya, tuh si ilyani udah dapet nilai A gimana gak endol surendol? Apa ada si ilyani basa basi sama dosennya? Gak ada cuuuy euweuh sasadu papalaku, kalo saya yg jd dosen udah tak kasih nilai E wkwkwk