KUNINGAN (MASS) – Setiap orang terlahir dengan keadaan yang berbeda dan kondisi yang beragam. Termasuk soal fisik. Meski begitu, sudah seharusnya tidak usah takut dan riaih pada orang yang terlahir berbeda.
Hal tersebut diutarakan Ajizah. Mahasiswi pendidikan luar biasa di Uninus Bandung. Ajizah, selain menjadi mahasiswa, juga mengajar di sebuah yayasan yang menaungi anak berkebutuhan khusus.
“Termotivasi, karena kebetulan ada saudara berkebutuhan khusus (spase C, tuna grahita). Saya bareng selama tiga tahun. Saya ingin jadi guru, tapi (guru) apa ya. Yasudah, (karena termotivasi, red) masuk jurusan PLB,” tuturnya pada kuninganmass.com beberapa waktu lalu.
Tentu sangat berbeda dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi Ajizah, mengambil kekhususan mengajar tuna grahita, atau yang lebih dikenal muka seribu. Biasanya memiliki IQ dibawah standar.
“Banyak spasenya, A tuna netra, B tuna rungu, C tuna grahita, D tuna daksa dan banyak lagi sampai G tuna ganda,” imbuhnya lebih lanjut.
Dirinya mengaku pengalamannya mengajar langsung merupakan hal yang tidak bisa dilupakan. Tips S3, sangat sabar sekali, selalu menjadi acuannya dalam mengajar.
“Sebenarnya akademisnya mudah, tapi sabarnya itu. Karena kan, hari ini mereka belajar angka dari 1 sampe 10, besok lupa lagi. Jadi kita ajarin lagi terus,” paparnya.
Anak berkebutuhan khusus, atau yang kerap disebutnya anak spesial sendiri bukanlah penyakit. Karenanya, dijelaskan Ajizah, tidak ada istilah penyembuhan, hanya ada pengoptimalan.
Anak spesial sendiri, terbagi menjadi dua. Permanen dan temporer. Untuk keduanya, Ajizah menyarankan tidak usah takut atau merasa tidak nyaman ketika orang yang umum, bertemu mereka.
“Gak usah takut. Mereka sebenarnya asik, emang biasanya SKSD. Tapi mereka itu kadang ngebuat kita lebih funny,” ungkapnya dengan senyum lebar di bibirnya. (eki)
