KUNINGAN (MASS) – Berternak kroto, semut rangrang mungkin tidak terlalu familiar bahkan di kalangan peternak hewan. Namun, hal itulah yang kini menjadi bisnis menjanjikan bagi Cucu Sutrisno.
Warga Bubulak Kelurahan Winduhaji Kuningan itu sudah sejak tahun 2014 lalu menggeluti usahanya, berternak dan berbisnis kroto.
“Awalnya sih karena tertarik aja, ada ternak semut rangrang melalui media toples, bukan karena ingin bisnis atau apa, sekedar tertarik,” akunya saat ditanyai kuninganmass.com beberapa waktu lalu.
Dalam ceritanya, Sutrisno mengaku awalnya belajar dan ikut pelatihan ke Tegal, Jawa Tengah. setelah itu, dirinya mulai mengambil kroto untuk diternakan dalam media toples.
Sutrisno Kroto mengaku, memulai perternakan dengan 200 toples. Dirinya tidak langsung berbisnis, selama satu sampai dua tahun, dirinya fokus pada perternakan, dan baru menjual kroto ketika toples ternak mencapai dua ribu hingga tiga ribuan.
“Cuman memang, prospek di pasarannya luar biasa, makanya diteruskan (berternak dan berbisnis krotonya, red),” sebut Sutrisno di kediamannya.
Dijelaskannya, kebutuhan Kroto di Kabupaten Kuningan saja mencapai kwintalan setiap bulannya.
Dengan harga Kroto yang mencapai Rp200 ribu hingga Rp450 ribu per kilonya, tergantung pengiriman ke kota mana, maka ada kesempatan besar sebagai peluang usaha.
Setiap kilonya, setidaknya membutuhkan 20 hingga 25 toples. Meski tidak selalu merata, idealnya, setiap toples menghasilkan 0,5 ons dalam sekali panen dan hal itulah yang memang menjadi fokusnya sejak awal, mengembangkan kroto, dari toples ke toples.
“Tapi sekarang saya lebih banyak ngejual bibitnya daripada panen. kalo udah ngejual bibit kan, gak ada buat panen,” tuturnya lebih lanjut.
Bisnis bibit sendiri, menurutnya lebih menguntungkan dari pada menjual kroto. Hal itu karena, saat ini, harga jual bibit toples sangat tinggi jika dibandingkan hasil panennya sendiri, ataupun bibit dari alam.
Perbedaan harga tersebut disinyalir karena susahnya membibitkan kroto dari alam, karena ketika ternak, kroto yang diternak, haruslah satu koloni, dan itu susah di dapatkan jika membibit dari alam.
Proses pembibitan dari alami juga sering mengalami kegagalan. Perbedaan koloni, menyebabkan adanya saling serang kroto itu sendiri.
Namun kalo sudah berhasil, dari bubut hingga menjadi semut, cukup memakan waktu 3 mingguan saja.
Dirinya juga maklum, bagi pemula, akan banyak kendala yang dihadapi dalam berternak kroto. terutama karena tidak maksimalnya perawatan.
Meski begitu, dirinya juga menyebut, pengetahuan terbaik memang dari pengalaman.
Saat ditanyai modal awal berbisnis Kroto, Sutrisno tidak menyebutkan secara rinci angkanya. Dirinya mengajak berhitung sendiri dengan asumsi, satu toples bibit dihargai Rp50 ribu. Dulu mengambil 200 toples sebagai awalan.
Sekarang, Sutrisno sudah memiliki beberapa temat ternak, seperti di belakang rumahnya, dan di sekitar lahan sawahnya.
Kuninganmass.com sendiri berkesempatan melihat langsung dan didampingi Sutrisno melihat perternakan.
Adapun kini, atas ketekunannya dalam berternak, Sutrisno mampu berpenghasilan sampai 5 jutaan perbulannya dari penjualan bibit kroto, belum lagi dari pakan dan penjualan lainnya.
Bahkan, selain dari perternakan, dirinya juga masih menerima komisi dari pembuatan buku kroto di salah satu penerbit yang diedarkan di seluruh Indonesia. (eki)