KUNINGAN (MASS) – Pengelolaan dana Covid 19 yang katanya serba mendesak nampaknya menjadi alasan bagi sejumlah pemerintah daerah untuk ‘bermain’. Bagaimana tidak, di beberapa daerah bahkan terjadi gejolak dugaan penyelewangan anggaran penanggulangan pandemi yang berasal dari Wuhan China tersebut.
Dimulai dari adanya dugaan penerima Bansos fiktif, ketidakakuratan data, mark-up anggaran, hingga dugaan adanya japrem dari oknum pimpinan daerah kepada para pengusahaan atas nama Covid 19 namun tidak dilaporkan.
Masyarakat wajar curiga, karena hingga saat ini bahkan tidak ada minimalnya website yang dimiliki pemerintah daerah untuk memantau seberapa besar penggunaan anggaran Covid 19 itu.
Padahal seharusnya, pemerintah daerah menerapkan prinsip good corporate governance dalam tata kelola setiap kegiatan yang dilakukannya.
Prinsip GCG yang dianggap sangat penting dalam tata kelola pemerintahan tersebut yakni akuntabilitas dan transparansi. Sebab, menurut sejumlah penelitian, kedua prinsip ini terbukti dapat meningkatkan trust atau kepercayaan dari masyarakat.
Dimana, kepercayaan dari masyarakat ini sangat penting untuk menyukseskan program-program pembangunan.
Kaitannya dengan akuntabilitas, harus ada akurasi dan kelengkapan informasi keuangan, kejelasan sasaran realisasi anggaran, penyebarluasan informasi, serta sistem informasi manajemen pemerintahan yang baik.
Sementara terkait dengan transparansi, pemerintah daerah perlu menjadikan setiap sumber dan pengeluaran keuangan itu menjadi aksesible. Misalnya, pemerintah daerah menyediakan website khusus yang memuat setiap sumber pemasukan anggaran Covid 19 beserta rincian penggunaannya untuk apa.
Bantuan sekecil apapun, baik itu yang bersumber dari uang negara maupun swasta, harus tercatat dengan baik.
Adanya keterbukaan informasi memungkinkan masyarakat untuk ikut mengetahui darimana dan kemana saja anggaran penanggulangan Covid 19 itu disalurkan.
Sehingga tidak ada kecurigaan dari masyarakat. Namun yang terjadi sekarang justru cukup anomali, bahkan di kalangan para pejabat itu sendiri juga saling tidak tahu soal seluk beluk anggaran ini.
Pejabat ini berkata A, pejabat lain berkata B. Tidak ada kesamaan informasi karena memang pengelolaan anggarannya semerawut.
Jika itu yang terjadi, tidak heran jika di beberapa daerah masyarakat mempertanyakan bahkan berdemo. Di Kabupaten Kuningan misalnya, bahkan para jurnalis terpaksa berulangkali menyampaikan aspirasi untuk mempertanyakan kejelasan pengelolaan anggaran pengelolaan Covid 19 ini.
Kondisi ini menunjukan bahwa pengelolaan anggaran Covid 19 di daerah tersebut sama sekali tidak akuntabel dan transparan karena seharusnya wartawan adalah pihak yang sangat dekat dengan informasi.
Jadi kalau para jurnalis saja bahkan tidak diberi informasi, bagaimana dengan masyarakat umum. Oleh karena itu, jangan salahkan masyarakat jika kehilangan kepercayaan kepada pemerintah daerah.
Jika dikaitkan dengan teori agency dari Jensen dan Meckling, rakyat merupakan para pemegang saham atau prinsipal yang wajib tahu sistem kerja para agen yang dalam hal ini adalah pejabat pilihannya.
Rakyat juga harus menjadi pihak pengendali yang diberi banyak informasi. Jangan malah terjadi asimetri, karena para pejabat di pemerintah daerah memiliki lebih banyak informasi, seenaknya saja ‘mengelabui’ rakyat. Jangan membodohi rakyat, jika tidak mau kualat.(*)
Penulis : Euis Nessia Fitri, M.Pd., M.Ak
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang