Oleh : El-huda
Aku punya seekor Anjing. Namanya Helder. Tak perlu ku beritahu jenis rasnya. Dia bertubuh besar. Hitam dan legam. Pasti menyeramkan untuk pertama kali dilihat.
Helder sering menggonggong. Membuat tetangga segan mendekat. Sengaja kupiara untuk jaga-jaga jika aku pergi dari rumah. Terbukti, lima tahun belakangan ini, rumahku benar-benar aman. Tak pernah ada satupun perampok datang meski aku jarang di rumah.
Tentu membuat hati tenang, ketika kutinggalkan rumah dengan si Helder penjaganya. Siapa juga berani macam-macam dengan Helder. Dia galak dan beringas pada musuh. Hanya setia pada tuannya. Akulah si Tuan.
Ngomong-ngomong soal setia, di dunia ini tidak ada lagi yang lebih setia daripada anjing. Anjing adalah makhluk paling mengerti balas budi. Kita beri makan dia secukupnya, biarkan dia berkeliaran di taman sepuasnya, dan ajak main seminggu sekali, maka kau dapat kesetiaannya sepanjang hayat. Tak ada dalam sejarah perhewanan, seekor Anjing berkhianat pada tuannya. Dia hanya menyalak pada orang-orang yang dianggap mengancam tuannya, entah mengancam nyawa, ataupun harta. Mungkin kalo Anjing bisa mengerti kehormatan, akan dia lindungi juga kehormatan tuannya dari gosip-gosip tetangga. Dia akan menyalak nyaring, sekira terdengar ibu-ibu yang berbelanja sayur yang biasa berkumpul di depan rumah, menggunjing tentangku, atau keluargaku.
——
Lewat 5 tahun kebersamaanku dan helder. Hewan yang kuambil dari sebuah penangkaran Anjing itu tak pernah mengecewakanku sebelumnya. Dia benar-benar membuat keberadaanku disegani. Hartaku juga sepenuhnya aman. Tak pelak, aku juga selalu lega istriku sering ditinggal di rumah. Mana mungkin ada tamu lelaki yang berani mendekat. Sudah kulatih agar Helder lebih beringas dan sensitif terhadap keberadaan lelaki. Kadang tamuku saja digonggonginya, apalagi tidak ada aku. Tak mungkin lolos. Lagipula aku percaya istriku. Mana mungkin dia berselingkuh. Kurang apapula aku, cukup tampan dan mapan.
—-
Tapi hari ini ada yang lain. Tak biasanya aku kehilangan barang berharga. Sebuah kujang peninggalan Abah ku hilang entah kemana. Padahal, 10 tahun lamanya tergantung di kamar tidur.
Tak pernah kutaruh curiga pada istriku yang penakut akan benda tajam. Tapi di rumah tidak ada sesiapapun lagi. Kusimpulkan dicuri tetangga saat Helder tidur.
Tapi tidak berhenti disitu. Tiga hari kemudian cincin batu ali -ku juga hilang. Seminggu berikutnya uang dan beberapa perhiasan istriku juga hilang. Disanalah kemarahanku naik. Kurteriaki Helder keras-keras, Helder terlalu sering tidur kalo memang ketiduran. Tidak ada kepekaan lagi pada musuh. Tidak ada menyalak lagi. Helder memang tak pernah menjulurkan lidah, jadi tak mungkin dia diracun. Akh, aku lupa. Soal tidak pernah menjulurkan lidah, ini memang aneh. Tapi sudah berjalan lama. Marah-marahlah aku hari itu. Sepuasnya.
—–
Selang beberapa minggu baru aku tahu. Firasatku buruk. Aku pulang terburu-buru dari luar kota. Sampai di rumah, kupergoki si Helder sedang bermesraan dengan anjing betina yang baru kulihat. Helder langsung siaga. Saat itu, lidahnya baru menutup setelah menjulur pada susu sang betina. Helder mesum.
Aku langsung berlari ke rumah. Kekhawatiran ku kejadian, Helder ternyata meniru seorang lelaki yang pernah kukenal. Lelaki yang saat ini menjulurkan lidahnya pada susu betina. Istriku. Marahlah aku disana.
Soal lelaki itu, dia adalah pemilik penangkaran Anjing. Tempat aku membeli Helder.
Aku mengamuk dan berteriak-teriak. Kucari-cari senjata yang biasanya menggantung di dinding kamar. Tidak ada. Hanya ada sebuah kursi pesolek yang bisa kupegang. Kubantingkan. Tapi laki-laki itu siaga. Dia bersiul. Helder dan betinanya datang. Anjing-anjing itu, akh… Anying. Mereka berpihak pada lelaki baru.
Satu hentakan perintah dari lelaki itu membuat Helder mengamuk dan menggigit tanganku. Aku kalah. Berlari keluar rumah. Keluar dari rumahku sendiri. Pergi dari istanaku sendiri. Pergi dari istriku sendiri. Pergi dari Anjingku sendiri. Akh, Anying. Baru kulihat Helder menjulurkan lidah saat lelaki itu bersiul. Lelaki itu bersiul sembari membawa emas berbentuk tulang. Membawa juga lencana bintang penghargaan.
Tentu saja, Lelaki itu pengasuhnya dulu.
—–
Aku masih mengatur nafas di jalanan yang cukup jauh dari rumah. Kelelahan aku diburu Helder. Jatuhlah aku terduduk di jalanan.
Hanya ada seorang kakek tua di sana. Sedang mengemis. Aku duduk di sampingnya. Meringis menahan kesakitan. Kesakitan yang tak terlihat mata telanjang.
“Kau kenapa, Nak,” tanya si kakek tiba-tiba. Rupanya, sensitif sekali hatinya itu. Tahu aku dirundung masalah.
“Penjagaku, kek. pelindungku, pengawas yang biasanya menyalaki musuh berbalik menyerangku, tuannya. Dia malah melindungi si pencuri,” ujarku.
“Pasti karena harta, wanita, atau lencana,” ujarnya meyakinkan.
Heran benar aku dibuatnya. Setelah seharian firasat burukku menjadi-jadi. Setelah keheranan karena aku kehilangan kesetiaan Anjing pengawas. Setelah keheranan aku kehilangan istriku. Kini aku dibuat heran karena si kakek tua ini menebaknya dengan tepat.
“Iya kek. Dia balik pada pengasuhnya yang dulu. Kakek tahu darimana ?”
“Memang begitu, kakek juga sudah lama merasakan. Anjing-anjing pengawas itu biasanya lebih setia pada ibu bapaknya yang dulu, pimpinan partai,” ujarnya.
“Maksudnya kek ?” tanyaku.
“Iya. Anjing pengawas yang berbalik menggonggongi rakyatnya sendiri. Tuannya. Kita sedang bicara Anggota DPR kan ?” tanyanya berbalik heran.***