KUNINGAN (MASS)- Ibadah haji merupakan ibadah yang memiliki keutamaan yang luar biasa. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah, “Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak adapahala bagi haji mabur kecuali surga.” (Muttafaq Alaihi).
Bahkan keutamaannya melibihi pahala berjihad, sebagaimana Rasul telah bersabda, Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, menurut kami jihad adalah amal perbuatan yang paling utama. Bolehkah kami terus-menerus berjihad?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari).
Dengan berbagai keutamaan tersebut maka wajarlah jika kaum muslimin berlomba-lomba untuk dapat menunaikan ibadah haji. Terutama kaum muslimin Indonesia, sebagaiamana kita ketahui ternyata setiap tahun pendaftar haji semakin bertambah sehingga menambah panjang daftar tunggu.
Semangat berlomba-lomba menunaikan haji seharusnya berbanding lurus dengan perubahan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. Kenapa bisa dikatakan seperti itu?
Seperti ibadah-ibadah yang lainnya unsur terpenting dalam beribadah adalah adanya niat. Niat inilah yang akan memberikan hasil terhadapa apa yang sudah kita kerjakan. Oleh karena itu ada istilah ibadah yang diterima (maqbul) dan ada ibadah yang tertolak (mardud).
Kalsifikasi amal itu menjadi maqbul atau mardud itu bisa ditentukan dengan niat yang ada dalam dada ketiika hendak mengerjakan sebuah pekerjaan, amal, atau ibadah. Niat adalah sesuatu yang abstrak, sehingga memang sejatinya hanya Allah yang mengetahui amalan atau ibadah kita itu masuk kategori maqbul atau mardud.
Namun terlepas dari niat seseorang, ternyata ada cara kita sebagai manusia bisa menilai apakah amalan atau ibadah itu diterima atau tidak oleh Allah swt , meskipun penilaian manusia tetap tidak luput dari keliru.
Yaitu kita dapat menilai apakah amalan atau ibadah itu maqbul atau sebaliknya mardud dengan melihat perilaku pasca orang tersebut melaksanakan amalan ibadah tersebut. Dalam hal ini misalkan haji, maka kita akan dapat menilai mana ibadah hajinya yang diterima atau lebih familiar dengan bahasa haji mabrur.
Senada dengnan pendapat Imam Nawawi, tanda-tanda haji mabrur adalah bahwa sepulang dari haji, orang tersebut menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya.
Banyak kisah dalam sejarah pun telah mencatat, salah satunya adalah kisah K.H Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang sampai hari ini menjadi organisasi besar di nusantara adalah beliau dirikan sepulang ibadah haji. Dan kisah yang lainnya.
Begitu pun jika kita membaca lebih jauh sejarah, bahwa sang khalifah Umar dan para sahabat sepakat mengambil bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam hitungan tahun hijriyah adalah atasan usulan sahabat Utsman bin ‘Affan karena beralasan bahwa bulan Muharram-lah kaum muslimin berpulang dari ibadah haji ke tanah air mereka masing sehingga mereka semua membawa risalah dakwah islamiyah dan semangat perubahan di tanah air mereka masing-masing.
Dengan alasan itulah Umar bin Khattab dan para sahabat sepakat menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam hitungan tahun hijriyah, yang padahal jika mengacu kepada namanya hijriyah atau hijrah itu dilaksanakan pada bulan safar sampai Rabi’ul Awwal.
Kesimpulannya, tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa semangat berlomba-lomba menunaikan ibadah haji seharusnya berbanding lurus dengan kualitas perilaku atau akhlak masyarakat Indonesia yang semakin baik. Karena berharap semangat perubahan itu dibawa oleh para jemaah haji yang pulang ke tanah air, sebagaimana pernah dilakukan oleh K.H Ahmad Dahlan.
Maka yang kemarin para pejabat, para tokoh, bahkan sampai masyarakat biasa yang telah manunaikan ibadah haji harus bisa memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dalam lingkungan masyarakatnya, minimal perubahan itu dirasakan dalam skup yang terkecil yaitu keluarga.
Jangan sampai antara sebelum dan sesudah haji perilakunya sama saja tidak ada peningkatan ke arah yang lebih baik. Harus ada kontribusi nyata yang dapat dirasakan oleh keluarga dan masyarakat pasca melaksanakan ibadah haji.***
Penulis: Ade Zezen MZM, SPd
(Guru SMPIT Al-Multazam & Ketua KAMMI Daerah Kuningan)