KUNINGAN (MASS)- Perempuan hanya sebagai pelengkap, pemanis, penghibur dan daya tarik (attractiveness) di sebuah moment, di sebuah keramaian, di suatu institusi maupun di ruang publik. Perempuan tidak bisa berbuat banyak apalagi sampai mengambil kebijakan. Itu dulu, mungkin juga ‘iya’, di zaman sekarang, ‘ di tempat-tempat tertentu’.
Membutuhkan lembaran yang begitu banyak untuk memaparkan kondisi perempuan di zaman dulu, zaman setelah RA Kartini (1908) dan setelah zaman pejuang perempuan lainnya. menjadi dialog yang panjang dan menarik jika didiskusikan dalam sebuah seminar, workshop atau apapun namanya.
Diskusi panjang, alot dan perjuangan yang cukup lelah itu pun menjadi sebuah benang merah yang cukup penting untuk dituangkan dalam sebuah kebijakan pemerintah internasional, nasional dan daerah dengan isu utama keseteraan gender (diskriminasi berdasarkan gender).
Patut diacungkan jempol, ketika perjuangan lelah itu direspon positif. Di Indonesia, secara seremoni diawali oleh Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928 yang ditetapkan sebagai Hari Ibu.
Tantangan terjal pun melanda keutuhan Kongres Perempuan tersebut. Para pejuang perempuan harus mempertahankannya, hingga akhirnya zaman berganti, kepedulian terhadap perempuan di ranah publik terus mengalami peningkatan, kendati belum mencapai titik signifikan.
Perempuan Dalam Penyelenggara Pemilihan
Berbicara Kabupaten Kuningan. Keterlibatan perempuan sebagai pemerintah, aktifis, jurnalis, maupun politik praktis sudah menunjukan geliatnya. Termasuk keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilihan (Pilkada maupun Pemilu).
Dari periode ke periode nampak ada perubahan jumlah perempuan yang masuk ke ranah publik, dan itu menjadi pemicu bagi perempuan-perempuan lainnya di Kuningan untuk tidak sekedar warna tapi turut mewarnai.
Penyelenggara Pemilihan misalnya, komisioner Komisi Pemillihan Umum (KPU) di tingkat provinsi, ada sosok perempuan. Begitu pun di beberapa daerah lainnya di Jawa Barat ada kursi komisioner yang diduduki perempuan, termasuk di wilayah Cirebon.
Salah satunya adalah komisioner perempuan di KPU Kabupaten Kuningan yang sudah dua periode (Hj. Heni Susilawati, S.Sos.,MM.), yang kini menjabat sebagai ketua. Ini adalah geliat gerakan perempuan di ranah publik paska reformasi, yang menjadi salah satu bagian gerakan demokrasi di Indonesia.
Bisa kita perhatikan dari data KPU Kabupaten Kuningan, jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada Pemilu 2014 ada 5 anggota perempuan. Sedangkan di tahun 2017 naik menjadi 27 perempuan dari total 160 PPK.
Ini jelas peningkatan yang cukup pesat, kendati belum menyentuh kuota 30 %. Namun pencapaian 17 % kaum perempuan di PPK menandakan, jika pejabat publik cukup responsif terhadap keterlibatan perempuan untuk ikut andil sebagai penyelenggara.
Belum lagi jumlah Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang tersebar di 363 desa/kelurahan se-Kabupaten Kuningan, jumlah anggota perempuannya meningkat. Hampir merata disetiap desa/kelurahan ada keterwakilan perempuan, berbeda pada pemilihan sebelumnya. Luar biasa, keterlibatan perempuan sudah menyentuh ke akar rumput (gresroot).
Ini adalah angin segar karena kran demokrasi sudah terbuka lebar untuk kaum perempuan. Tinggal bagaimana ‘si perempuan’ itu untuk bisa mengoptimalkan diri menjadi sosok yang berkualitas dan berkapasitas berada di lingkup kaum laki-laki.
Saya coba tengok jumlah anggota legislatif di DPRD Kabupaten Kuningan dari periode ke periode dengan kuota 50 kursi. Di tahun 2004, ada 3 perempuan 47 laki-laki, tahun 2009 ada 6 perempuan 44 laki-laki, dan periode 2014-2019 ada 13 perempuan 39 laki-laki.
DPRD Jawa Barat pun sosok perempuannya berjumlah 21 dari 91 kursi. Akankah meningkat jumlah perempuan di periode berikutnya (Pemilu 2019) ?. Begitupula pucuk eksekutif atau biasa dengan sebutan K-1 di periode 2013-2016, kursi Bupati Kuningan diduduki Hj. Utje Choeriyah Suganda.
So, berbicara undang-undang yang mengharuskan 30 % perempuan harus dirangkul, mungkin masih bisa dikatakan ‘belum’ mencapai target. Tidak sekedar Kuningan, secara kewilayahan Jawa Barat belum bisa, pun secara nasional.
Setidaknya, adanya kenaikan jumlah perempuan yang masuk ke pemerintah dan politik menjadi satu sinyal, jika perempuan sekarang bisa diperhitungkan dan Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 tidak sia-sia.
Pada satu kesempatan, Saya terlibat perbincangan yang cukup hangat dengan Ketua KPU Kuningan, Hj. Heni Susilawati, S.Sos., MM., seputar asumsi perempuan dan politik. Kesimpulan dari perbincangan tersebut, ‘Politik ternyata memiliki dampak yang berbeda terhadap perempuan.
Proses politik yang sudah dan sedang berjalan seringkali mengubah hubungan gender antara perempuan dan laki-laki. Perempuan dan laki-laki yang berpartisipasi sebagai subyek politik ternyata melakukan aktivitas politik yang berbeda’.
Kalau begitu, perempuan tidak sekedar terlibat dalam ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, budaya yang memang sudah banyak diselami oleh mereka. Akan tetapi, perempuan pun perlu terlibat dalam politik?. Hj. Heni memaparkan argumennya.
“Bukan sekedar argumen yang selalu digaungkan yakni keadilan (justice), kesetaraan (equality), emansipasi (emancipation), namun ada argumen lainnya, yakni perempuan menjadi panutan (role model) yaitu perempuan menjadi inspirasi dan pemberi semangat perempuan lainnya.
Lalu bagaimana menurut pandangan agama. Islam, secara normatif dalam Al-Quran melukiskan, figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik.
Bahkan Al-Quran menghimbau perempuan agar berani melakukan gerakan oposisi terhadap pemerintah yang iranik, perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (sumber al-istiqlal al-syakhshiy) yang diyakini kebenarannnya.
So, menunggu apalagi para perempuan cerdas. Yuk, kita optimalkan kemampuan kita, kecerdasan kita menjadi pribadi yang berkapasitas. Kita bisa mengawalinya dan melakukannya dari hal-hal yang paling kecil, misalnya menjadi agen perubahan dalam komunitas kecil. ***
Penulis : NUNUNG KHAZANAH, S.IP,
ANGGOTA PPK KECAMATAN CIGUGUR