KUNINGAN (MASS) – Polemik pencabutan moratorium pembangunan perumahan di Kecamatan Kuningan dan Cigugur jadi bahan perbincangan di berbagai kalangan yang silang pendapat. Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas PUTR Kabupaten Kuningan, Putu Bagiasna MT, memberikan penjelasan panjang terkait dasar, alasan, hingga aturan baru yang diterapkan dalam kebijakan tersebut.
Putu menegaskan isu moratorium bukanlah kebijakan yang muncul di kepemimpinan Bupati saat ini, melainkan sudah berlangsung sejak 2023 pada masa Bupati sebelumnya. Menurutnya, saat itu Penjabat (PJ) Bupati sebenarnya telah berniat membuka moratorium, namun kapasitas jabatan tidak memungkinkan.
āMoratorium itu adalah penghentian sementara. Salah satunya disebabkan kebutuhan rumah masyarakat yang terus meningkat, atau yang disebut backlog. Kuningan dan Cigugur termasuk kategori tinggi karena jumlah penduduknya besar,ā ujar Putu, Jumat (21/11/2025) kemarin.
Ia juga mengakui sebagian wilayah di kedua kecamatan tersebut merupakan kawasan konservasi dan resapan air. Karena itu, masukan dari pemerhati lingkungan, akademisi, maupun LSM sangat dihargai. Namun, di sisi lain pemerintah juga melihat kebutuhan masyarakat terhadap rumah dan SKB 3 Mentri terkait percepatan pembangunan tiga juta rumah secara nasional.
āKuningan salah satu daerah yang pertumbuhan rumahnya kecil. Jadi kami sebagai pengampu tata ruang ini ada apa kan gitu, salah satunya mungkin disebabkan oleh moratorium. Kami menerima masukan-masukan terhadap kawasan resapan air jangn dibangun itu kami terima,ā jelasnya.
Putu mengungkapkan pemerintah kini menerapkan aturan yang jauh lebih ketat untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Salah satunya adalah penerapan Koefisien Dasar Hijau (KDH) 70-30. Dalam skema itu, 30 persen lahan wajib menjadi ruang hijau yang tidak boleh dibangun. Dari lahan yang bisa dimanfaatkan, pembagian kembali dilakukan: 60 persen untuk kapling rumah dan 40 persen untuk fasilitas umum dan sosial seperti jalan, drainase, masjid, sarana olahraga, hingga pemakaman.
Selain itu, seluruh pengembang kini diwajibkan menyediakan kolam retensi minimal lima persen dari total luas lahan untuk menampung limpasan air hujan. Aturan tersebut lahir dari masukan akademisi.
āMuncul usulan dari akademisi, pengembang harus ada kolam retensi 5 persen. Kebayang kalau lima hektare, harus ada 2.500 meter persegi kolam. Ini untuk memastikan run-off air tidak merusak lingkungan sekitar,ā kata Putu.
Menurutnya, aturan baru tersebut tidak berdampak signifikan pada perhitungan bisnis pengembang. Meski demikian, ia menegaskan pencabutan moratorium bukanlah proyek yang menguntungkan pengembang.
āAturannya berat. Dengan KDH 70-30 dan pembagian 60-40 untuk fasum, lahan yang benar-benar bisa dibangun rumah tinggal sedikit. Ini bukan langkah yang memanjakan developer,ā terangnya.
Terkait isu yang menuding adanya gratifikasi dalam pencabutan moratorium, Putu membantah tegas. Ia menyebut tuduhan tersebut sebagai hoaks.
āSudah 11 hari dibuka, belum ada satu pun pengembang yang mengajukan izin. Jadi tidak benar ada keuntungan bisnis dalam kebijakan ini,ā ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Putu keputusan membuka moratorium dilakukan berdasarkan kajian dan diskusi panjang dengan para akademisi dan pemangku kepentingan lingkungan.
āSeperti disampaikan Pak Bupati di Jagara, kalaupun dibuka (moratorium) ini dengan pengetatan aturan. Karena kami tetap memperhatikan masukan LSM lingkungan dan akademisi bahwa kawasan Kuningan dan Cigugur merupakan kawasan konservasi dan resapan air,ā pungkasnya. (didin)





















