KUNINGAN (MASS) – Dalam audiensi masyarakat Desa Muncangela Kecamatan Cipicung, Rabu (5/11/2025) siang ini, muncul tuntutan dari warga yang mengultimatum agar dilakukan pembongkaran atau penyegelan tower. Bukan tanpa sebab, penyegelan tower diminta warga yang menolak, karena izin resmi belum ada -termasuk PBG-, tapi tower sudah berdiri.
“Apabila dalam waktu 3×24 jam tidak ada tindakan pembongkaran atau peyegelan, maka masyarakat akan membawa persoalan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Bupati Kuningan untuk meminta penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Komarudin Humaedi, perwakilan warga yang menolak.
Audiensi yang digelar di Balai Desa Muncangela Kecamatan Cipicung tersebut, dihadiri beberapa pihak mulai dari Camat Cipicung, Pemerintah Desa Muncangela, BPD, LPM, perwakilan masyarakat, serta instansi terkait yaitu DPUTR, DLH, dan DPMPTSP Kabupaten Kuningan.
Tentang Penolakan Tower
Perwakilan warga, Komarudin Humaedi menceritakans ecara detail bahwa aksi penolakan tower ini bukanlah ujug-ujug. Justru sebetulnya, kata Komar, sejak awal sudah ada indikasi penolakan warga. Bahkan, audiensi sendiri sudah digelar beberapa kali. Audiensi pertama, dilakukan pada 21 Agustus 2025, dan hasilnya dianggap deadlock.
Diceritakan, dalam audiensi pertama yang dihadiri oleh Kepala Camat, Kepala Desa, BPD, LPM, serta masyarakat Desa Muncangela, telah diputuskan bahwa pembangunan tower ditolak oleh masyarakat karena dinilai tidak melalui proses musyawarah yang transparan dan partisipatif.
Namun, BPD tidak menandatangani hasil keputusan tersebut, sehingga menjadi celah bagi Kepala Desa untuk mengabaikan hasil musyawarah dan melanjutkan proses pembangunan tower secara sepihak.
Tindakan tersebut, kata Komarudin Humaedin, dinilai menyalahi aturan musyawarah desa dan bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan desa sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 24 huruf (d), yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus menjunjung tinggi demokrasi, musyawarah, dan mufakat.
Pasal 55 dan 56 UU Desa, yang menjelaskan bahwa BPD berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta memiliki peran penting dalam menetapkan kebijakan bersama kepala desa.
“Tindakan Kepala Desa yang melanjutkan pembangunan tanpa persetujuan BPD dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelanggaran asas pemerintahan yang baik (good governance) dan penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” jelasnya.
Klaim soal Tower Belum Ada Izin Resmi
Ia kemudian menceritakan audiensi lanjutan yang dihadiri oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Komar mengklaim, dalam audiensi itu terungkap bahwa pembangunan tower di Desa Muncangela belum memiliki izin resmi.
Ditegaskan, pembangunan infrastruktur tanpa izin merupakan pelanggaran hukum administratif dan tata ruang sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 7 ayat (1): setiap bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan administratif, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB) atau dalam sistem terbaru disebut PBG (Persetujuan Bangunan Gedung).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan UU Bangunan Gedung, Pasal 6 ayat (1): setiap pembangunan gedung yang dilakukan tanpa PBG dinyatakan ilegal dan dapat dikenakan sanksi administratif hingga pembongkaran.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 36 ayat (1): setiap kegiatan yang berdampak pada lingkungan wajib memiliki izin lingkungan.
“Dengan demikian, keberadaan tower tanpa izin resmi telah melanggar ketentuan perundang-undangan dan tidak memiliki dasar hukum yang sah,” tegas Komar.
Ultimatum Warga Penyegelan Tower dalam 3×24 Jam
Komarudin mengklaim, masyarakat Desa Muncangela secara tegas menolak pembangunan tower yang tidak memiliki dasar hukum dan izin resmi tersebut.
“Apabila dalam waktu 3×24 jam tidak ada tindakan pembongkaran atau peyegelan , maka masyarakat akan membawa persoalan ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Bupati Kuningan untuk meminta penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Komarudin.
Tuntutan masyarakat ini, lanjutnya, sejalan dengan hak warga negara dalam:
Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat serta mendapatkan informasi publik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur bahwa masyarakat berhak mengetahui setiap kebijakan publik, termasuk proyek pembangunan yang berdampak langsung pada lingkungan sekitar.
Apabila pemerintah desa atau pihak perusahaan tidak menindaklanjuti tuntutan masyarakat, maka langkah hukum yang dapat diambil adalah melalui pelaporan ke aparat penegak hukum atas dugaan pelanggaran administrasi dan tata ruang, sesuai dengan Pasal 109 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, yang mengatur sanksi bagi kegiatan tanpa izin lingkungan.
(eki)





