KUNINGAN (MASS) – Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan mata pelajaran yang memiliki posisi strategis dalam membentuk karakter, wawasan, serta kepekaan sosial peserta didik. Sejak awal tahun 1970-an, IPS telah diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia. Seiring perkembangan zaman, materi maupun metode pembelajaran terus mengalami penyesuaian. Kurikulum Merdeka, misalnya, hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut dengan menggeser pola pembelajaran dari sekadar hafalan menuju pemahaman tematik yang lebih mendalam (Lestari, 2018). Perubahan ini menuntut guru tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga berperan sebagai fasilitator yang mampu membangkitkan potensi siswa agar terlibat aktif dalam proses belajar (Prasetya, 2018).
Sayangnya, mata pelajaran IPS masih kerap dipandang membosankan oleh sebagian siswa. Heafner (2004) menyebutkan bahwa banyak peserta didik memiliki anggapan negatif terhadap IPS. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan pembelajaran IPS tidak cukup ditentukan oleh isi kurikulum, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh bagaimana guru mengemas dan mengimplementasikan pembelajaran secara efektif.
PEMBAHASAN
Salah satu pendekatan yang dapat menciptakan pembelajaran IPS yang efektif adalah pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini memungkinkan siswa memahami fenomena sosial dari beragam perspektif, mulai dari geografi, ekonomi, sejarah, hingga sosiologi. Dengan demikian, siswa tidak hanya melihat persoalan dari satu sisi, tetapi mampu menelaahnya secara komprehensif (Durhan, 2020). Penelitian Wibowo dkk. (2024) misalnya, menunjukkan bahwa penerapan pendekatan ini di SMP Miftahurrohman Gresik dilakukan melalui kerja kelompok, di mana siswa diberi tugas mengkaji satu tema dari sudut pandang berbeda-beda, kemudian mempresentasikan hasilnya di depan kelas.
Sebagai contoh, ketika membahas topik banjir yang sering terjadi di lingkungan sekitar, guru dapat mengaitkannya dengan berbagai disiplin ilmu sosial. Dari aspek geografi, siswa diajak memahami kondisi alam dan tata ruang kota yang menjadi penyebab banjir. Dari sisi sosiologi, mereka membahas dampak sosial terhadap masyarakat terdampak. Dari aspek ekonomi, siswa menganalisis kerugian materiil, sedangkan dari sudut pandang sejarah, guru mengajak siswa menelusuri bagaimana pola banjir terjadi di masa lalu dan bagaimana masyarakat menanganinya. Dengan cara ini, pembelajaran IPS menjadi lebih hidup, bermakna, dan relevan dengan pengalaman nyata peserta didik.
Namun, efektivitas pembelajaran tetap sangat bergantung pada peran guru. Guru dituntut mampu memilih strategi, metode, serta media yang sesuai dengan karakteristik siswa. Subianto (2013) menegaskan bahwa setiap pengetahuan memiliki fungsi sosial yang penting, sehingga guru harus memastikan pengetahuan tersebut dapat ditransformasikan menjadi pengalaman bermakna. Hal ini sejalan dengan pendapat Susanti dkk. (2018) yang menekankan pentingnya pengaitan materi IPS dengan isu-isu sosial aktual agar pembelajaran tidak berhenti pada tataran teoritis semata.
KENDALA
Meski pendekatan interdisipliner membawa banyak manfaat, implementasinya di lapangan tidak lepas dari berbagai kendala. Guru seringkali hanya menguasai salah satu cabang ilmu sosial, sehingga kesulitan ketika harus membahas tema di luar bidang keahliannya. Selain itu, kelas yang besar membuat diskusi sulit dikendalikan. Rendahnya minat baca siswa juga membuat mereka bergantung pada Lembar Kerja Siswa (LKS) tanpa berupaya mencari referensi tambahan.
Keterbatasan sarana prasarana sekolah turut menjadi hambatan, seperti kurangnya buku penunjang maupun media pembelajaran interaktif. Rahmawati dan Zidni (2019) menemukan bahwa banyak guru akhirnya kembali menggunakan metode ceramah satu arah yang membuat pembelajaran monoton. Syahwana (2022) juga mencatat bahwa kurangnya variasi metode menjadi penyebab rendahnya partisipasi siswa dalam pelajaran IPS.
SOLUSI
Untuk mengatasi hambatan tersebut, guru perlu terus meningkatkan kompetensinya, baik melalui pelatihan, seminar, maupun forum diskusi dengan rekan sejawat. Sutimin (2012) menegaskan bahwa berbagi pengalaman antarguru menjadi langkah penting dalam memperluas wawasan lintas bidang. Selain itu, pemanfaatan media pembelajaran inovatif dapat memperbaiki kualitas pembelajaran. Misalnya, penggunaan peta digital atau aplikasi analisis data sederhana dapat mendorong siswa lebih aktif dan kritis.
Guru juga perlu mengontekstualisasikan materi dengan kehidupan nyata peserta didik. Topik ekonomi, misalnya, dapat dikaitkan dengan harga kebutuhan pokok di pasar lokal atau praktik jual beli sehari-hari. Dengan demikian, siswa merasakan bahwa IPS bukan sekadar teori, melainkan bekal praktis untuk menghadapi realitas sosial. Tentu saja, peran sekolah dalam menyediakan sarana prasarana juga sangat krusial agar pembelajaran IPS dapat berjalan optimal.
KESIMPULAN
Implementasi pembelajaran IPS yang efektif di sekolah menengah menuntut adanya pendekatan interdisipliner, kreativitas guru, serta dukungan sarana prasarana yang memadai. Kendala seperti keterbatasan pengetahuan guru, rendahnya minat baca siswa, dan minimnya media pembelajaran dapat diatasi melalui peningkatan kompetensi guru, penggunaan media inovatif, serta pengaitan materi dengan kehidupan nyata. Dengan strategi tersebut, IPS dapat menjadi mata pelajaran yang menarik sekaligus sarana untuk membentuk peserta didik yang kritis, inovatif, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Oleh: Selma Karamy, Mahasiswa UIN SSC
