KUNIGAN (MASS) – Proses seleksi terbuka atau open bidding (OB) jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan kini menjadi sorotan luas di kalangan birokrasi, publik, dan media. Bukan karena keberhasilannya, tapi justru karena berbagai kejanggalan prosedural dan dugaan inkonsistensi tata kelola yang menyelimuti prosesnya.
Berbagai pertanyaan terus bermunculan. Mulai dari percepatan pengumuman tiga besar yang mendadak, ketidaksesuaian jadwal dengan yang telah dirancang sebelumnya, hingga pengajuan hasil OB ke pusat tanpa melalui persetujuan atau konsultasi dengan kepala daerah terpilih. Dan yang tak kalah menarik, di tengah proses seleksi yang tengah berjalan, tiba-tiba Penjabat (Pj) Bupati Kuningan dicopot oleh Kementerian Dalam Negeri.
Namun anehnya, meskipun telah dicopot, proses OB tetap diajukan, bahkan dijadikan agenda penting yang dilanjutkan hingga tahap pengusulan tiga besar. Kini, publik bertanya: ada apa sebenarnya di balik kelakar ini?
Jadwal Berubah, Proses Melaju Sendiri
Salah satu kejanggalan yang paling nyata adalah perubahan jadwal pengumuman hasil seleksi yang dipercepat secara tiba-tiba, tanpa penjelasan resmi ke publik. Menurut informasi yang beredar, pada 31 Oktober 2024 pukul 16.00 WIB, proses wawancara peserta masih berlangsung. Namun, hanya berselang beberapa jam, tepatnya pukul 20.00 WIB, hasil seleksi langsung diumumkan dan tiga besar ditetapkan, padahal jadwal resmi pengumuman adalah 8 November 2024.
Padahal, dalam dokumen resmi awal, terdapat tenggat waktu dan tahapan yang terstruktur. Namun, kenyataannya, pengumuman tiga besar dilakukan sebelum waktunya.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada manuver politik atau kejar target di balik perubahan tersebut. Terlebih, percepatan ini dilakukan bertepatan dengan masa transisi Pilkada 2024, saat publik berharap pemerintah daerah lebih berhati-hati dan menjaga netralitas birokrasi.
Pencopotan Pj Bupati: Momentum yang Menguatkan Dugaan Kepentingan
Keesokan harinya, 1 November 2024, Pj Bupati Kuningan dicopot sebelum masa tugasnya habis dan digantikan oleh Pj Bupati baru. Saat itu, Pilkada masih dalam tahap kampanye sehingga belum ada kepala daerah definitif.
Meskipun tidak dijelaskan secara rinci alasan pencopotan tersebut, banyak pihak menduga bahwa tindakan ini tidak lepas dari dinamika politik internal dan persepsi pelanggaran etika birokrasi.
Hasil Seleksi Dikirim, Tapi Izin Menteri Tak Kunjung Turun
Setelah pergantian Pj, muncul isu bahwa salah satu nama dari hasil tiga besar harus segera dilantik. Pj Bupati baru disebut telah mengajukan satu nama ke Kemendagri, namun hingga kini izin pelantikan tak kunjung keluar, memunculkan banyak pertanyaan publik terkait integritas dan kelayakan proses tersebut.
Hal ini membuka dugaan bahwa ada ketidaksesuaian prosedur, atau bahkan ada potensi pelanggaran etik dalam proses pengajuan tersebut. Atau bisa jadi, Kementerian sengaja menahan karena membaca adanya potensi disharmoni antara hasil seleksi dan kepemimpinan kepala daerah definitif.
Jika demikian, maka ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan daerah: proses yang dijalankan terburu-buru, diajukan tanpa legitimasi penuh, lalu berujung stagnan karena tidak didukung persetujuan pusat.
Dengan segala dinamika tersebut, narasi yang berkembang di tengah masyarakat semakin kuat: apakah open bidding ini dijalankan demi kepentingan daerah, atau sekadar demi melengkapi formalitas dan meninggalkan “warisan jabatan”?
Kuningan Butuh Kepastian, Bukan Polemik Tambahan
Kuningan saat ini tidak butuh polemik baru. Daerah ini membutuhkan konsolidasi kepemimpinan, konsistensi tata kelola, dan keberanian dalam membenahi sistem. Jabatan Sekda terlalu strategis untuk dijadikan ajang tarik-menarik kepentingan.
Sekda ke depan harus menjadi mitra sejati Bupati—yang dipilih secara utuh oleh kepala daerah definitif, sejalan secara visi, dan mampu berlari cepat di tengah krisis fiskal dan tuntutan publik yang kian besar.
Penulis: Dr (C). Qiki Qilang Syachbudy, SE., M.Si, Mahasiswa S3 Institut Pertanian Bogor
