KUNINGAN (MASS) – Di tengah geliat demokrasi dan modernisasi, satu kenyataan pahit masih merongrong republik ini: feodalisme belum mati. Ia tak lagi berwujud istana dan mahkota, tapi menjelma dalam bentuk relasi kuasa yang timpang, warisan kekuasaan, dan penghormatan membabi buta terhadap gelar dan jabatan. Feodalisme hari ini tampil dalam baju demokrasi, dan itulah yang membuatnya jauh lebih berbahaya.
Feodalisme paling kasatmata terlihat dalam praktik demokrasi politik rasa keluarga, termasuk di level kabupaten. Di Kabupaten Kuningan, kekuasaan eksekutif cenderung berputar dalam lingkaran keluarga dan kelompok elite yang sama.
Contoh nyata:
Pada Pilkada 2013 dan 2018, Acep Purnama mencalonkan diri dan terpilih sebagai Bupati Kuningan. Ia sebelumnya adalah Wakil Bupati mendampingi mendiang Utje Hamid Suganda—istri dari mantan Bupati Aang Hamid Suganda. Dengan kata lain, kekuasaan lokal Kuningan sejak 2003 hingga saat ini didominasi oleh figur dari keluarga atau lingkaran yang sama.
Pada Pilkada 2024, adik mantan Bupati juga mencuat sebagai wakil Bupati, mengindikasikan upaya mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran keluarga. Ini menjadi contoh bagaimana pola pewarisan kekuasaan di daerah berjalan mirip sistem feodal: mengandalkan nama belakang, bukan rekam jejak.
Kemudian, Feodalisme birokratik hadir dalam bentuk dominasi kepala daerah atas rotasi jabatan, sering kali berdasarkan loyalitas politik, bukan prestasi. Dalam konteks Kuningan, ini tercermin dalam proses mutasi dan promosi pejabat.
Contoh kasus:
Pada awal 2024, beredar draft mutasi pejabat eselon II di lingkup Pemkab Kuningan yang dinilai sebagai bentuk “balas budi” pasca Pilkada. Beberapa ASN non-loyalis didemosi, sedangkan loyalis tetap dipertahankan meski ada catatan evaluatif. Hal ini dikritik oleh akademisi dan aktivis lokal karena mengabaikan prinsip meritokrasi.
Selain itu, pada pertengahan 2025, 50 anggota DPRD Kuningan diminta menyusun pokok-pokok pikiran (pokir) sesuai katalog dari Bupati. Para wakil rakyat praktis hanya mengamini pilihan eksekutif, tanpa diskresi mewakili konstituennya. Fenomena ini memperlihatkan relasi kuasa satu arah: legislatif tunduk pada eksekutif.
Selanjutnya, dalam kehidupan sosial di Kuningan, status masih menjadi tolak ukur utama dalam menilai seseorang. Gelar “Ajengan”, “Haji”, atau status sebagai mantan pejabat sering lebih menentukan didengar atau tidaknya suara seseorang dalam forum masyarakat.
Contoh nyata:
Dalam sejumlah musrenbangdes (musyawarah pembangunan desa), usulan warga biasa sering kalah prioritas dibanding pendapat mantan pejabat desa atau tokoh sepuh. Hal ini menciptakan ketimpangan representasi di level akar rumput—usulan yang benar tapi datang dari “kelas bawah” kerap diabaikan.
Bahkan, Feodalisme juga menyusup ke dunia pendidikan. Di Kabupaten Kuningan, banyak organisasi siswa dan mahasiswa (OSIS, Pramuka, BEM, dan lainnya) masih menjunjung tinggi sistem senioritas ekstrem. “Yang lebih dulu masuk” dianggap selalu benar, sementara adik kelas yang kritis kerap dibungkam.
Contoh kasus:
Pada tahun 2021, seorang mahasiswi Kuningan—mengeluarkan kritik terhadap kinerja Dinas Kesehatan dalam menangani stunting. Alih-alih direspons secara argumentatif, kritik tersebut justru dibalas dengan ancaman oleh salah satu oknum pendidik kampus. Peristiwa ini mengundang kecaman publik dan memperlihatkan betapa daya kritis mahasiswa masih dianggap ancaman, bukan kontribusi intelektual.
Kemudian pada 2023, seorang siswa SMK di Kuningan ditegur keras oleh guru dan kakak kelasnya karena mempertanyakan sistem pungutan sukarela yang tidak transparan. Alih-alih diberi ruang diskusi, ia justru dijauhi dan dianggap “tidak hormat”.
Feodalisme tidak mati. Ia hanya berubah bentuk—dan menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi. Ia tetap hidup dalam dominasi kekuasaan lokal, jabatan birokrasi yang diwariskan secara politis, serta budaya yang lebih menghargai status daripada substansi.
Untuk membebaskan diri, kita butuh keberanian menyuarakan meritokrasi, kesetaraan, dan keterbukaan. Tidak cukup sekadar mengganti pemimpin setiap lima tahun; yang harus kita ubah adalah cara berpikir dan cara memperlakukan manusia: sebagai warga, bukan sebagai bawahan atau pengikut.
Feodalisme akan lenyap hanya jika masyarakat bersedia mengganti “asal bapak senang” menjadi “asal kebenaran ditegakkan”.
Oleh: Latif Pratama, Aktivis IMM
