Melambungnya Subsidi Listrik Rp105 Triliun: Untuk Siapa?

KUNINGAN (MASS) – Siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari kenaikan subsidi listrik hingga Rp105 triliun tahun depan?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengusulkan subsidi listrik tahun 2026 sebesar Rp97,37–104,97 triliun.

Angka ini naik dibanding tahun ini yang sebesar Rp87,72 triliun.

Jika realisasi kurs melemah ke Rp16.900 per dolar AS dan ICP bertahan di US\$80 per barel, subsidi bisa melambung hingga Rp105 triliun.

Angka ini sangat besar, setara hampir 5% dari total belanja negara untuk kesehatan dan pendidikan di RAPBN.

Masalahnya, apakah tambahan subsidi listrik sebesar itu akan membantu mereka yang benar-benar membutuhkan yaitu masyarakat miskin dan rentan atau justru dinikmati kelompok menengah-atas yang memiliki daya beli lebih tinggi?

Pertanyaan ini bukan sekadar menyoal angka anggaran, melainkan menyoal keadilan distribusi fiskal dan efektivitas kebijakan publik kita.

Jika kita analogikan subsidi listrik seperti selimut di musim dingin, maka idealnya selimut itu digunakan oleh mereka yang kedinginan paling parah.

Namun faktanya, subsidi listrik Indonesia lebih mirip selimut tebal yang justru dipakai oleh orang-orang yang sudah memakai jaket bulu tebal, sementara mereka yang hanya memiliki kaus tipis tetap menggigil.

Data World Bank (2017) dan Asian Development Bank (2021) menunjukkan 40% rumah tangga terkaya (desil 7–10) menikmati 50–60% subsidi listrik, sedangkan 40% rumah tangga termiskin hanya menikmati sekitar 20–25% subsidi.

Mengapa bisa demikian? Karena desain subsidi kita berbasis tarif dan golongan, bukan berbasis kondisi sosial ekonomi riil.

Sebagai contoh, banyak rumah tangga kaya di perumahan elite yang masih menggunakan golongan subsidi 900VA atau bahkan 450VA dengan nama kerabat atau staf rumah tangga mereka.

Di sisi lain, rumah tangga miskin di wilayah rural terpencil kerap belum teraliri listrik PLN sama sekali, atau jika pun ada, konsumsinya sangat kecil sehingga subsidi yang mereka nikmati pun minimal.

Perlunya Reformasi Subsidi Listrik

Untuk menjawab persoalan ini, kita perlu meninjau struktur konsumsi listrik masyarakat Indonesia.

Data Susenas (2022) menunjukkan konsumsi listrik rumah tangga miskin (desil 1–2) rata-rata 40–60 kWh per bulan, dengan proporsi belanja listrik mencapai 2–4% dari total konsumsi mereka.

Sementara itu, kelompok menengah (desil 3–7) mengonsumsi 80–150 kWh per bulan, dan kelompok kaya (desil 8–10) mengonsumsi hingga 250–400 kWh per bulan.

Namun proporsi belanja listrik terhadap total pengeluaran justru turun pada kelompok kaya, yakni hanya 1,5–3%, karena total konsumsi mereka sangat besar.

Artinya, tambahan subsidi listrik Rp105 triliun akan dinikmati lebih besar oleh kelompok menengah-atas, meskipun bagi mereka, manfaat tambahan itu tidak signifikan terhadap kesejahteraan.

Inilah yang dalam teori ekonomi publik disebut sebagai subsidi regresif, di mana manfaatnya justru semakin besar bagi mereka yang tidak membutuhkan.

Jika pemerintah serius ingin menolong rakyat miskin dan rentan, maka kebijakan subsidi perlu diarahkan ulang.

Subsidi yang besar namun tidak tepat sasaran sama saja dengan menaburkan pupuk mahal ke tanah berbatu: tidak akan menghasilkan panen yang maksimal, hanya pemborosan anggaran.

Dalam konteks fiskal, subsidi yang tidak tepat sasaran adalah pemborosan sumber daya negara, seperti membangun tenda peneduh di taman kota namun menaruhnya di bawah jembatan layang, sehingga tak ada pejalan kaki yang menikmatinya.

Hubungan Subsidi, Defisit, dan Kesejahteraan Rakyat

Banyak pihak menganggap subsidi listrik adalah cara negara hadir untuk rakyat.

Benar, tetapi apabila subsidi tersebut salah sasaran, maka justru menimbulkan kerugian ganda.

Pertama, meningkatkan defisit APBN.

Kedua, tidak memperbaiki kesejahteraan kelompok miskin.

Ketika subsidi listrik membengkak hingga Rp105 triliun, berarti ada Rp17 triliun tambahan dari tahun ini yang bisa dialihkan untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, irigasi pertanian, atau program bantuan langsung tunai bagi rakyat miskin.

Dalam teori Optimal Subsidy and Taxation (Diamond & Mirrlees, 1971), subsidi harga energi hanya optimal jika diterima kelompok miskin, karena marginal utility mereka atas energi sangat tinggi.

Namun untuk kelompok kaya, subsidi ini hanya menurunkan efisiensi ekonomi nasional.

Inilah dasar mengapa banyak negara berkembang telah beralih ke subsidi berbasis penghasilan atau transfer tunai terarah.

Rekomendasi

Bagaimana seharusnya pemerintah merespons tantangan subsidi listrik ini?

Pertama, melakukan reformasi subsidi bertarget berbasis data DTKS dan data rekening listrik.

Rumah tangga miskin dan rentan dengan daya 450VA dan 900VA pra bayar perlu tetap mendapatkan subsidi penuh.

Sementara rumah tangga menengah dan kaya di golongan tersebut perlu diverifikasi dan diubah menjadi tarif non-subsidi.

Kedua, mengalihkan sebagian subsidi menjadi investasi transisi energi terbarukan.

Program PLTS atap skala rumah tangga untuk desa-desa terpencil terbukti menurunkan biaya pokok penyediaan listrik PLN hingga Rp200 juta per desa per tahun.

Selain itu, penguatan pembangkit energi terbarukan skala desa akan mengurangi ketergantungan pada pembangkit diesel yang mahal dan beremisi tinggi.

Ketiga, memberikan bantuan langsung tunai (BLT) listrik bagi kelompok miskin sebagai kompensasi bila harga listrik disesuaikan.

World Bank (2023) menyebutkan BLT jauh lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin dibanding subsidi harga energi.

Keempat, melakukan efisiensi operasi PLN dengan renegosiasi harga IPP (Independent Power Producer) dan revisi kontrak take or pay pembangkit yang tidak efisien.

Biaya pokok penyediaan listrik nasional masih tinggi karena struktur kontrak yang tidak optimal di masa lalu.

Kelima, memperkuat penerimaan negara melalui carbon pricing untuk sektor energi, sehingga hasil penerimaan pajak karbon atau skema ETS dapat digunakan untuk menutup sebagian subsidi listrik sambil mendorong transisi energi hijau.

Perlunya Menata Subsidi untuk Keadilan dan Kesejahteraan

Tambahan subsidi listrik Rp105 triliun pada dasarnya menunjukkan niat pemerintah hadir untuk rakyat.

Namun jika kebijakan ini dieksekusi tanpa reformasi penargetan, maka akan menjadi ironi kebijakan publik: negara mengeluarkan dana besar, tetapi kelompok miskin tetap tidak terjangkau manfaatnya, sementara kelompok kaya menambah konsumsi tanpa dampak kesejahteraan berarti.

Ke depan, reformasi subsidi listrik bukan sekadar kewajiban fiskal, melainkan keharusan moral negara untuk memastikan rakyat miskin dan rentan terlindungi dari ketidakpastian harga energi, sambil menata fiskal untuk pembangunan jangka panjang.

Jika subsidi adalah selimut, maka pastikan selimut itu benar-benar menghangatkan mereka yang kedinginan, bukan menjadi bantal empuk tambahan bagi mereka yang sudah memiliki kasur tebal.***

Penulis : Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta