KUNINGAN (MASS) – Di tengah kebijakan pemerintah yang menjamin pendidikan gratis di sekolah negeri, termasuk madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama, muncul temuan yang mengundang perhatian publik di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Sebuah kwitansi pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) senilai Rp750.000 yang dikeluarkan oleh MAN 2 Kuningan pada 3 Juni 2025 beredar luas dan menimbulkan pertanyaan. Apalagi dalam dokumen tersebut tercantum keterangan “Pembayaran paling lambat disetorkan tanggal 10 setiap bulannya”, yang memperkuat dugaan pungutan itu bersifat rutin, bukan insidental.
Hal tersebut memicu sorotan dari masyarakat dan pemerhati pendidikan, mengingat pendidikan menengah di sekolah negeri, termasuk madrasah, seharusnya tidak lagi membebani orang tua siswa dengan biaya bulanan, terutama dalam jumlah yang cukup besar. Pemerintah pusat selama ini telah mengucurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan program lainnya guna menutupi kebutuhan dasar operasional sekolah.
Menanggapi hal tersebut, Kepala MAN 2 Kuningan, Dadang Haerudin, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan, kebijakan pembayaran SPP tersebut warisan dari kepala sekolah sebelumnya dan merupakan hasil musyawarah serta kesepakatan dengan orang tua siswa pada awal tahun ajaran 2024/2025. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Klik di sini untuk melihat dasar hukumnya.
“Per bulan itu sebenarnya hanya Rp150 ribu. Nominal Rp750 ribu dalam kwitansi kemungkinan besar karena siswa yang bersangkutan menunggak beberapa bulan. Namun perlu diketahui, untuk yang tak mampu kami membebaskan termasuk siswa yang berprestasi juga,” jelasnya saat dikonfirmasi via WhatsApp, Jum’at (20/6/2025).
Dadang juga menyoroti perbedaan besar antara dukungan dana yang diterima madrasah dengan sekolah negeri umum (SMA/SMK). Menurutnya, siswa SMA negeri mendapatkan bantuan dari Bantuan Pendidikan Operasional Daerah (BOPD) sebesar Rp1,8 juta per tahun, sementara madrasah negeri hanya menerima Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) senilai Rp600 ribu per tahun.
“Perbedaan nominal bantuan yang signifikan ini menyebabkan madrasah kesulitan jika hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Pencairan BOS pun kadang mengalami kendala, ditambah adanya kebijakan efisiensi anggaran. Kami sangat bergantung pada dukungan dari komite sekolah dan orang tua untuk menutupi kekurangan,” tuturnya.
Ia menambahkan, keinginan pihak sekolah sebenarnya pendidikan bisa benar-benar gratis. Namun menurutnya, selama perlakuan terhadap madrasah belum disamakan dengan sekolah umum, beban tambahan itu sulit dihindari.
“Kalau ingin madrasah gratis seperti SMA, perlakuan dari pemerintah juga harus setara, terutama soal bantuan dana per siswa. Kamipun bisa gratis manakala jumlah nominal yang ada di SMA atau SMK jumlahnya disetarakan,” keluhnya.
Dadang juga menyampaikan, dalam setiap pertemuan dengan orang tua, belum pernah ada keluhan terkait kebijakan tersebut. Pihak sekolah siap menerima masukan dan berdialog dengan wali murid yang merasa keberatan.
“Kami terbuka. Kalau ada orang tua yang keberatan, silakan sampaikan langsung ke sekolah. Kami akan fasilitasi agar ada solusi terbaik,” pungkasnya. (argi)
