KUNINGAN (MASS) – Kasus pencabulan yang terjadi di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Ciawigebang, Kuningan, telah memicu keprihatinan mendalam dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa. Presiden Mahasiswa Universitas Islam Al-Ihya (UNISA) Kuningan, Andri Andriyana, menyampaikan sikap tegas atas insiden tersebut.
Ia menyebutnya sebagai tindakan biadab yang merusak masa depan korban dan mencederai citra lembaga pendidikan berbasis agama. Menurut Andri, kasus itu tidak hanya mencoreng nama baik pesantren tempat kejadian, tetapi juga berdampak pada reputasi seluruh pesantren di Indonesia.
“Masyarakat sering kali menggeneralisasi, sehingga pesantren-pesantren lain yang memiliki sistem pengawasan dan pengelolaan baik ikut terdampak,” ujarnya, Senin (23/12/2024).
Ia menambahkan, peristiwa tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke pesantren. Ia juga menyoroti kemungkinan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan yang aman dan bermoral.
“Orang tua mengirimkan anak ke pesantren dengan harapan mendapatkan pendidikan agama dan akhlak. Namun, kasus seperti ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan dan keamanan di lingkungan pesantren,” katanya.
Sebagai bagian dari solusi, Presiden Mahasiswa UNISA mengusulkan beberapa langkah konkrit untuk mencegah kasus serupa di masa depan:
- Penegakan Hukum yang Tegas
Pelaku harus dijatuhi hukuman maksimal sesuai dengan hukum yang berlaku untuk memberikan efek jera. Proses hukum juga perlu dilakukan secara transparan. - Pengawasan dan Regulasi Ketat
Pemerintah daerah dan Kementerian Agama diharapkan memperketat pengawasan operasional pesantren, termasuk audit berkala terhadap sistem pengelolaan dan pengamanan internal. - Edukasi dan Kesadaran
Santri perlu diberikan edukasi mengenai hak-hak mereka, termasuk hak untuk merasa aman. Pengelola pesantren juga perlu pelatihan terkait perlindungan anak dan pengelolaan yang berintegritas. - Rehabilitasi Korban
Korban harus mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum untuk memulihkan trauma. Pesantren tempat kejadian juga wajib bertanggung jawab terhadap pemulihan korban. - Pembentukan Lembaga Pengawasan Independen
Lembaga ini bertugas mengawasi aktivitas pesantren secara menyeluruh dan menerima laporan dari masyarakat. Wewenang evaluasi dan pemberian sanksi harus dijalankan dengan tegas. - Kampanye Pemulihan Kepercayaan
Pesantren perlu transparan dalam melakukan perbaikan sistem, melibatkan tokoh agama, akademisi, dan masyarakat dalam upaya membangun kembali kepercayaan publik.
Di akhir pernyataannya, Andri mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengecam, tetapi juga aktif mendorong terciptanya lingkungan pendidikan yang aman. Ia berharap, kasus tersebut bisa menjadi momentum introspeksi bagi semua pihak, terutama pengelola pesantren, agar sistem pendidikan berbasis agama dapat terus menjadi simbol moral dan akhlak yang mulia.
“Sebagai mahasiswa, kami berkomitmen untuk bersinergi dengan pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan demi menciptakan perubahan nyata untuk generasi muda yang lebih baik,” tutupnya. (argi)