KUNINGAN (MASS) – Untuk hal yang sama, dengan sikap dan cara yang berbeda dapat menghasilkan suatu yang berbeda.
Seperti misalnya ada dua orang gembala, yang satu cerdas dan yang satunya dungu, mereka masing-masing diamanahi sepasang (dua ekor) sapi.
Gembala yang cerdas memelihara sapi yang diamanahkan kepadanya itu dengan hati, dengan cinta, dengan tulus dan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Dia berfikir, bagaimana agar sapi yang diamanahkan kepadanya itu bisa tumbuh dan berkembang biak dengan subur. Karenanya dia belajar keras bagaimana untuk dapat memelihara sapi yang baik.
Dia sangat memperhatikan tempatnya yang baik, pakannya yang baik dan kesehatan sapinya yang baik.
Karenanya sapi yang diamanahkan kepadanya itu dapat bertumbuh subur serta berkembang biak dengan baik dan tentu saja dari kinerjanya yang baik itu menghasilkan susu yang melimpah.
Sehingga ketika sedang diperas susunya pun sang sapi merasa senang dan sambil senyum-senyum mengucapkan terima kasih kepada gembala (majikan) yang telah memeliharanya dengan sangat baik.
Sementara sikap gembala yang dungu berbanding terbalik dengan sikap gambala yang cerdas sebagaimana tersebut diatas.
Yang terpikir oleh gembala dungu itu, hanya bagaimana mendapat keuntungan sebesar-besarnya dari sapi yang diamanahkan kepadanya. Dia mengambil keuntungan dari jatah untuk pakannya, dari jatah untuk pembuatan kandangnya dan dari jatah untuk biaya pemeliharaan kesehatan sapinya dsb.
Untuk laporan dan meyakinkan boss nya bahwa keuangannya telah digunakan sebagaimana mestinya dia mengumpulkan nota / kwitansi-kwitansi kosong yang kemudian diisinya sendiri sesuai dengan kebutuhannya. (Pokoknya dari setiap celah yang bisa di-embat, dia embat).
Tentu saja karenanya pemeliharaan sapinya menjadi sangat buruk, sehingga sapi yang dipeliharanya itu, bukan saja tidak berkembang, bahkan sapi yang ada pun kurang sehat, kurus kering dan sakit-sakitan.
Namun demikian, karena memeliharanya tidak dengan hati dan tidak dengan cinta, maka meskipun sudah tahu sapi itu kurang sehat, kurus kering dan sakit-sakitan, akan tetapi karena butuh susunya, sapi itu terus saja diperas.
Dia tidak dapat melihat celah lain untuk memenuhi kebutuhannya selain dari memeras sapi yang sudah kurus kering itu, sehingga tentu saja ketika sedang diperas, sapi itu dengan hati yang pilu protes dan mengumpat:
“.. Bodoh, tolol.. Lo ngga bisa ngurus gua sehingga gua hidup dalam kondisi seperti ini.. hidup enggan mati tak mau.. akan tetapi lo ngga mau tau, dalam kondisi seperti ini-pun gua terus-terusan diperas saja”.
“Lo ngga ngerasain penderitaan seperti yang gua rasain, karena lo hidup dalam kecukupan dan gelimang kemewahan”.
“Tapi ingat, do’a dari yang terdzolimi ini akan didengar Allah, dan ingat pula, tanggung jawab lo dunia akhirat.. Karenanya lo harus selalu ingat, bahwa kematian itu suatu yang pasti. Agar lo tidak terus-terusan berada dalam kesesatan..”
Kira-kira seperti itulah sumpah serapah dari sapi yang merasa sangat terdzolimi oleh gembalanya yang dungu itu.
Namun demikian karena merasa tidak berdaya, sapi itu hanya bisa nerima dan pasrah saja walaupun sambil menjerit.
Jika saja gembala yang dungu itu sadar bahwa dirinya dungu, masih mendingan karena ada harapan bisa sembuh dari kedunguannya. Akan tetapi jika tidak maka tidak dapat lagi berharap ada kebaikan darinya.
Bahayanya jika gembala bermetal korup seperti itu sudah mewabah, tidak bisa dicegah dan sudah dianggap lumrah.
Tapi Insyaa Allah, para pejabat dan pengambil keputusan di Kabupaten Kuningan sih, dalam mengemban amanah, sikap dan kinerjanya seperti gembala yang cerdas itu .. He.. hee…
Wallohualam bishowab
Totong Heriawan
(TH.090624)