KUNINGAN (MASS) – Pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai aturan pelaksana dari UU No. 20/2023 tentang ASN. Salah Salah satu poin yang akan diatur adalah hak cuti pendampingan bagi ASN pria yang istrinya melahirkan. Sebelumnya cuti bagi ASN pria belum mendapat perhatian secara khusus.
Rancangan tersebut banyak mendapatkan sambutan positif. Setelah sebelumnya Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara yang termasuk dalam kategori fatherless country atau “negara kekurangan ayah”. Tak tanggung-tanggung Indonesia mendapatkan urutan terbanyak ketiga di dunia sebagai negara Fatherless.
Fatherless country merupakan sebuah negeri yang ditandai keadaan atau gejala dari masyarakatnya berupa kecenderungan tidak adanya peran, dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dan hangat dalam kehidupan sehari-hari seorang anak di rumah.
Oleh karena itu diharapkan dengan diberlakukannya hari “cuti ayah” dapat menekan angka fatherless tersebut.
Meskipun hal ini bukanlah ide yang baru, hari “cuti ayah”, sudah banyak diberlakukan di sejumlah negara dan perusahaan multinasional. Waktu cuti yang diberikan bervariasi, berkisar 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari.
Mengapa fenomena fatherless dapat terjadi?
Fenomena fatherless menunjukkan adanya kerusakan ditengah-tengah masyarakat. Salah satu faktor kualitas generasi yang rendah karena absennya peran orang tua khususnya ayah dalam mendidik anak-anak mereka. Namun kurangnya Pendidikan ayah bukanlah merupakan satu-satunya faktor rusaknya generasi. Karena dalam mengarungi kehidupan ini, tentulah dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari Pendidikan di keluarga, lingkungan Masyarakat, serta peran negara menjaga generasi.
Sementara kondisi keluarga saat ini sangat rentan, sering kali ayah dan ibu tidak memahami perannya sebagai orang tua. Mereka tidak memahami salah satu dari tujuan pernikahan, sering kali mereka juga masuk kedalam gerbang pernikahan tanpa ilmu dan tujuan.
Sebagian orang tua juga sibuk bekerja karena tuntutan kehidupan yang tinggi sehingga mengesampingkan perannya dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka menganggap Pendidikan anak di sekolah saja sudah cukup, karena orang tua telah lelah bekerja dan telah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk memasukkan anak-anak mereka kedalam sekolah yang bagus dan bergengsi.
Masyarakat yang ada saat ini juga tidak menjalankan perannya dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, Masyarakat cenderung bersifat individualis. Sementara negara berlepas tangan dari perannya menjaga generasi dari ide-ide batil dan gaya hidup liberal.
Maka wajar generasi yang terbentuk adalah generasi yang tidak berkualitas. Generasi yang terbentuk saat ini tentu kelak akan menjadi seorang ayah juga. Otomatis sosok ayah yang akan datang ini juga tidak berkualitas, karena korban sistem dan keadaan saat ini.
Semua ini dapat terjadi karena manusia mencampakan sistem buatan sang khalik dan menerapkan sistem buatan manusia yaitu sistem kapitalis. Sistem inilah yang meniscahyakan agama dipisahkan dari kehidupan dan membuat manusia hanya mengejar kenikmatan dunia dan kepuasan materi.
Apakah “cuti Ayah” menjadi solusi yang efektif untuk menghadapi fenomena Fatherless?
Syaikh Ahmad Athiyat dalam kitabnya At-Thariq menjelaskan bahwa Ketika manusia menyadari realita kerusakan maka mereka akan bergerak melakukan sebuah perubahan untuk memperbaiki realita tersebut. Dengan melihat bagaimana realitas kehidupan generasi saat ini Masyarakat mulai menyadari dan merasakan sendiri bagaimana dampak dari terjadinya fenomena Fatherless dalam sebuah keluarga.
Hari cuti ayah yang digaungkan pemerintah tidak bersifat efektif dan menyeluruh, malah dengan memberikan hari cuti ayah mengecilkan peran ayah dalam keluarga. Waktu yang diberikan untuk cuti ayahpun hanya dalam hitungan hari, yang dimana mendidik anak tidaklah cukup hanya dalam hitungan hari saja. Mendidik anak adalah pekerjaan seumur hidup. Sehingga tidak boleh ayah hanya mendidik anak-anaknya saat senggang atau saat mendapat cuti pekerjaan saja. Karena anak adalah Amanah yang diberikan oleh Allah SWT dan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya.
Maka membuat undang-undang “cuti hari ayah” dengan harapan memperbaiki kualitas generasi hanya akan menjadi solusi pragmatis.
Karena masalah yang terjadi adalah masalah sistemik maka solusi yang dibutuhkan juga solusi sistemik bukan hanya sekedar undang-undang buatan manusia yang bersifat lemah dan terbatas.
Sistem yang dibutuhkan adalah sistem yang mampu menghasilkan para ayah yang unggul mencetak generasi berkepribadian mulia yaitu sistem islam. Dalam islam kualitas generasi tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, yakni ayah dan ibu namun juga membutuhkan sistem pendukung termasuk peran Masyarakat dan negara dengan segala kebijkannya.
Allah SWT berfirman dalam Surah At-Tahrim Ayat 6:
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Seorang ayah wajib melindungi keluarganya dari api neraka dengan cara mendidik anak-anaknya agar tidak menjadi generasi yang rusak dan dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya. Sementara dari sisi Masyarakat islam mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar dan mensunahkan mereka untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.
Islam juga menetapkan bahwa negara wajib hadir untuk menjaga generasi melalui penerapan sistem islam secara kaffah, salah satunya dengan menerapkan sistem Pendidikan islam, hingga mereka sadar wajib terikat dengan aturan sang Khaliq dan siap menanggung Amanah besar seperti menjadi seorang ayah. Negara menjaga kesucian interaksi Masyarakat melalui sistem pergaulan islam, dan melindungi Masyarakat dari segala ide dan pemikiran liberal yang rusak dan merusak.
Hal inilah yang harus ditanamkan dalam benak setiap ayah bahwa mendidik anak adalah kewajiban. Bahkan islam memandang jauh kebelakang, mendidik anak bukan saat anak baru lahir ke dunia saja, tapi mendidik anak dimulai dengan memilih ibu yang shalih.
Alasan lainnya mengapa kita harus mendidik anak kita adalah agar kita tidak merugi. Betapa tidak, pahala mendidik anak sangat besar. Apalagi anak Perempuan. Didalam salah satu hadistnya Rasulullah SAW menegaskan pahala seperti apa yang akan diraih oleh orang tua yang mampu membesarkan anak perempuannya dengan lapang dada:
“Barang siapa memiliki tiga anak perempuan lalu ia bersabar atas mereka, dan memberi makan mereka, memberi minum, serta memberi pakaian kepada mereka dari kecukupannya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada Hari Kiamat” (H.r. Ahmad [24055]7 dan Ibnu Majah [3669], dishahihkan oleh Imam Al-Albani dalam Ash-Shahihah [294]).
Wallahu’alam bishshawab
Penulis : Retno Wulandari
Aktivis Muslimah