KUNINGAN (MASS) – Pagelaran MTQ ke-49 tingkat Kabupaten Kuningan yang diselenggarakan di Kecamatan Darma baru-baru ini, menorehkan tuan rumah sebagai juara umum.
Kecamatan Darma, memperoleh 36 poin disusul dengan Kecamatan Pancalang dan Cigugur dengan masing-masing 21 dan 16 poin dari keseluruhan cabang.
Hal itu, diumumkan Koordinator Dewan Hakim Syahid Ridho Maulana M Sci, saat menetapkan juara terbaik 1,2,3 dan harapan 1,2,3 kala penyerahan trophy di Waduk Darma.
Penyerahan dilakukan langsung oleh Pj Bupati Raden Iip Hidayat. Ada sekitar 600 lebuh peserta dari 32 kecamatan yang berlomba dalam 6 kategori.
“Kami yakin penyelenggaraan MTQ ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan, jauh dari unsur koalisi dan nepotisme sehingga dapat menghasilkan qori dan qoriah terbaik yang dapat mengharumkan nama Kabupaten Kuningan melalui prestasi MTQ baik di tingkat lokal, maupun internasional,” ujar Raden Iip.
Pada MTQ tingkat Kabupaten Kuningan sendiri, lomba yang digelar mulai dari membaca Alquran, Tahfidz, Fahmil Quran, Syarhil Quran, Kaligrafi dan Karya Tulis Ilmiah.
Meski sudah diumumkan juara, ternyata ada keluhan juga keitik dari salah satu peserta cabang lomba, terutama Karya Tulis Ilmiah Alquran (KTIQ).l, seperti yang dikeluhkan Firda dan Rizki, kontingen Kecamatan Subang.
Pasalnya, penilaian juri pada lomba karya tulis ilmiah kali ini dianggap memakan waktu yang lama. Tahun sebelumnya penilaian karya hanya memakan sekitar 1 jam, kali ini penilaian bisa sampe 5 jam, jam 3 selesai nulis, jam 8 malam baru pengumuman lolos babak berikutnya.
Berbeda dengan cabang lomba lain, setelah menulis karya tulis ilmiah Al-Qur’an biasanya diambil 6 putra 6 putri untuk tahap selanjutnya pemaparan prasentasi dan diberikan beberapa pertanyaan oleh dewan hakim.
“Kami teman-teman sekontingen Subang bingung, ditungguin lama, mau pulang tapi kasian sama yang cabang ktiq takut tiba-tiba ternyata lolos 6 besar. Akhirnya kami nunggu keputusan dewan hakim hingga jam 8 malam,” kata Firda.
Ia berharap, hal tersebut bisa menjadi evaluasi besar bagi dewan hakim KTIq agar kedepannya tidak terjadi lagi hal seperti ini. Mengingat, ada peserta yang berasal dari kecamatan yang jauh dan harus nunggu sampai larut malam.
Kekecawaan firda tak berhenti sampai disitu, setelah Firda dan peserta lainnya menunggu hingga jam 8 malam. Ternyata yang di loloskan untuk kemudian di adu argumen hasil karyanya itu hanya beberapa saja.
Di tahun sebelumnya 6 putra 6 putri, kali ini hanya 2 putra 3 putri. Hal ini dilakukan dewan hakim dengan beralasan peserta yang lain kena plagiarisme.
Pernyataan tersebut semakin membuatnya heran, karna karya tulis yang dia rasa adalah betul-betul hasil pemikiran dia harus gugur dengan alasan plagiasi yang penilaiannya tanpa ada transparansi.
Senada, Rizki juga berpendapat bahwa seharusnya acuan cek plagiarism dengan menggunakan web harusnya jangan jadi penilaian final karya tersebut lolos atau tidak.
Karena, kata Rizki, biasanya penulis juga mengambil data dari isu yang akan diangkat, mengambil kutipan dari referensi buku atau jurnal untuk kemudian jadi bahan pemicu penulis mengeluarkan argumennya.
Dan biasanya cek plagiarisme dari web itu tidak seratus persen benar, kutipan atau data yang sudah diberikan body note atau foot note pun masih kena plagiarisme, dan biasanya juga terjadi error, semisal di web pertama nilai plagiarisme nya 20 persen, namun bisa saja d web lain itu hanya 15 persen.
“Ketika saya cek ulang ternyata yang kena plagiasi itu adalah data kekerasan seksual yang saya ambil dari media berita Kuningan, itu juga sudah saya cantumkan sumbernya di body note. Dan kutipan saya dari jurnal yang sudah saya cantumkan keterangan sumbernya juga kena. Padahal data dan kutipan tersebut kenapa saya cantumkan adalah bertujuan untuk memperkuat argumen saya, atau pemicu saya untuk menambahkan argumen ataupun memberikan argumen yang berbeda,” sebutnya.
Ia juga sangat menyayangkan keputusan dewan hakim, seharusnya dewan hakim tidak semata-mata berpatok pada hasil cek plagiarisme dari web. Dewan hakim juga mesti membaca ulang apakah kutipan atau data tersebut bertujuan plagiarisme atau bertujuan sebagai pemantik, hal ini dibuktikan dengan penulis mencantumkan sumber kutipan tersebut.
“Semoga kedepannya dewan hakim lebih bijaksana dalam memberikan penilaian,” terangnya.
Hal ini juga diamini oleh Supri, sebagai pembina LPTQ Subang. Menurutnya, jika memang ada plagiarisme tinggal dibuktikan di babak selanjutnya, suruh prasentasi lalu dewan hakim cecar pertanyaan ke mereka, kalau dia menguasai gagasan karya tulisnya berarti dia bukan plagiat.
Supri menyayangkan ada ketidakadilan dalam penjurian kali ini, biasanya diloloskan 6 putra 6 putri untuk di adu kembali. Namun kali ini hanya 2 putra 3 putri yang memperebutkan juara. Sedangkan panitia menyiapkan piala dan hadiah lomba itu sampai harapan 3.
“Dan ternyata ada beberapa yang diadu dan ada sebagian yang sudah ditentukan urutan juaranya,” sebutnya.
Hemat Supri daripada seperti itu, kalo mau diadu diadu sekalian, kalo mau ditentukan ditentukan sekalian, jangan sebagian-sebagian.
“Ini kan membuktikan bahwa tidak ada keselarasan antara aturan yang dibuat oleh panitia dan dewan hakim,” tuturnya. (eki)