KUNINGAN (MASS) – Apa yang anda harapkan dari politik di negeri ini? — Pemimpin yang berintegritas? Anti-korupsi? Saya rasa yang anda harapkan selalu tentang hal yang baik. Jika demikan, saya pun mengharapkan hal yang sama. Namun, akankah hal-hal yang baik itu akan terwujud jika situasi saat ini (das sein) justru tidak menunjukan potensi ke arah yang lebih baik.
Pemilihan Umum (PEMILU) semakin dekat menuju hari-H, yaitu tanggal 14 Februari 2024. Saya bertemu banyak orang dan berdiskusi dengan banyak tokoh, di dalam lingkungan seperti ini, politik tidak bisa dielakkan. Hal ini mendorong rasa penasaran saya terhadap politik yang sangat menarik untuk dipahami secara utuh.
Jauh sebelum tensi politik sepanas sekarang, saya sudah mengamati politik praktis secara langsung di daerah maupun di jakarta, dengan “membuntuti” beberapa orang yang mengerti dan paham tentang dinamika politik yang terjadi. Dari mulai strategi pemenangan untuk meningkatkan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas caleg/capres, hingga terjun langsung ke konstituen—jadi tak hanya dipikirkan namun di terapkan.
Dari pengalaman inilah saya semacam mendapatkan suatu pencerahan akan realitas yang terjadi di negara ini. Bagaimana sesuatu dapat dengan mudah “di atur” dengan nilai-tukar tertentu. Bagaimana opini masyarakat ini di bentuk sehingga menimbulkan gerakan yang seolah-olah natural — Yang pada akhirnya berlabuh di salah satu calon tertentu.
Dalam hal ini, apa yang terjadi di lapangan ternyata lebih berwarna dibandingkan dengan apa yang diunggah di sosial media. Bahkan gagasan-gagasan yang cemerlang terkadang tak berguna jika sudah turun ke masyarakat. Mengapa bisa begini?
Perjalanan yang singkat ini menimbulkan banyak pertanyaan pada akhirnya: Kenapa masih banyak masyarakat yang rela suaranya di tukar dengan sejumlah uang/barang? Kenapa masih ada sebagian besar anggota pengawas pemilu yang “berduet” dengan kandidat? Pertanyaan seperti ini sebenarnya adalah rahasia umum dan sudah diketahui oleh masyarakat.
Politik di indonesia sangat inheren dengan konsep kapital. Dalam bukunya George Ritzer yang bertajuk Teori Marxis dan Teori Neo-Marxian, menyatakan bahwa Kapital adalah cara untuk menggandakan uang, cara bagaimana uang itu bekerja untuk mendapatkan lebih banyak uang.
Karl Marx mengatakan bahwa kapital adalah suatu modal yang dimiliki oleh kaum kapitalis untuk menekan kaum proletar. Kaum kapitalis memiliki modal yang cukup besar untuk menguasai basis. Maka kapital dalam pandangan Marx lebih bernilai sebagai alat untuk menguasai basis dan melanggengkan kekuasaan kapitalis.
Pabrik-pabrik atau pemilik modal selalu mencari cara agar aset mereka terus bertambah, keuntungan mereka terus meningkat, yaitu dengan mengkapitalisasi perusahaan kecil yang dapat dijangkau oleh tangan kapitalis. Pembahasan mengenai kapital tidak dapat di pisahkan dari fungsi dominasi didalam arena.
Jika dikaitkan dengan situasi politik saat ini, apa yang dilakukan para caleg/capres dalam kampanye selalu mengarah ke arah dominasi kapital tersebut. dengan cara yang mungkin tidak jauh berbeda dengan para pemilik modal atau pemilik pabrik — Borjuis.
Politikus menggunakan kapital ekonomi untuk menguasai basis dengan tranksaksi di grassroot yang berkedok program atau bantuan kebutuhan. Hal yang saya temui akhir-akhir ini sangat relevan dengan teori tersebut, sebab itulah cara politikus bermain di arena untuk mendominasi arena tersebut. Namun kapital tidak selalu mengarah pada ekonomi yang diukur pada uang.
Filsuf Prancis Pierre Felix Bourdieu mengembangkan makna ‘kapital’ yang tidak hanya mengacu pada tindakan ekonomi, ia membagi kapital dalam empat jenis: Kapital Ekonomi, Kapital Sosial, Kapital Kebudayaan, dan Kapital Simbol. Bourdieu memperluas makna kapital yang dapat digunakan di ranah non-ekonomisme.
Kapital sosial, kapital yang mengedepankan relasi sosial dalam lingkup masyarakat tertentu. Pemilik kapital sosial adalah siapapun yang jaringan relasi sosialnya paling luas diantara yang lain.
Kapital sosial berperan sangat penting dalam arena “politik” di Indonesia. Relasi sosial dalam politik menentukan dominasi seseorang di dalam arena, itulah mengapa tidak sedikit caleg/capres memiliki “seseorang” di lembaga pengawasan pemilu bahkan di lembaga yang menyelenggarakan pemilu. Tujuannya jelas untuk mengontrol arena bermain. Ketika politikus memiliki modal kapital sosial yang cukup besar itu artinya mereka memiliki peluang yang besar untuk menang.
Rakyat kecil kelas menengah kebawah, yang kesulitan dalam hal ekonomi cenderung menerima suaranya di akuisisi oleh politikus. Rakyat kecil menganggap hal ini “aji mumpung” dalam tahun-tahun politik, dan politikus (caleg/capres) membutuhkan suara mereka—ini adalah kausalitas konkret di dalam arena politik.
Dalam konsep arena dan habitus yang Bourdieu cetuskan menyatakan, siapapun yang menguasai arena akan mudah untuk membentuk habitu masyarakat. Kapital ekonomi dan kapital sosial menjadi penentu dan pemegang situasi sosial—Dalam hal politik, inilah yang menjadi penentu siapa yang akan menang.
Saat ini politik transaksional tidak dapat dielakkan, politikus menargetkan masyarakat menengah kebawah untuk dikapitalisasi suaranya dengan kapital ekonomi — Masyarakat menerima dengan maksud pemenuhan kebutuhan. Saya rasa ini sudah menjadi strategi politik yang berkelanjutan dan sulit untuk dihilangkan.
Sepanjang perilaku masyarakat yang memilih caleg/capres hanya karena uang, sepanjang itu juga politik kapital akan di langgengkan.
Lantas, apa yang diharapkan dari politikus yang menjabat dari hasil transaksional tersebut? Justru dari hal semacam ini, kemungkinan untuk korupsi menjadi ada dan akan menciptakan politikus yang tidak berintegritas.
Penulis: Rafly Maulana Akbar