KUNINGAN (MASS) – Pernyataan tajam dan kontroversial dari Rocky Gerung (RG) tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjadi sorotan masyarakat. Segelintir orang meminta agar RG ditahan, dipenjara dan dibungkam mulutnya.
Hal ini disebabkan RG dinilai sudah menistakan kelembagaan Presiden. Mereka mengatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun, hak ini harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain.
Kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan untuk menyebarkan narasi kebencian dan provokasi. Narasi RG dinilai menyebarkan kebencian dan provokasi. Mereka berpandangan narasi RG dapat membahayakan masyarakat dan keutuhan negara. Oleh karena itu, RG dilaporkan kepihak aparat kepolisian oleh berbagai kelompok masyakarat.
Padahal, sebenarnya kritik tajam oleh Rocky Gerung terhadap pemerintahan perlu dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan koreksi. Harus dilihat konteksnya dimana apa yang dilakuan RG adalah bagian dari kecintaan kepada kebenaran dan NKRI juga upaya mengkoreksi kesalahan dari pengambil kebijakan oleh seorang Rocky Gerung.
Rocky Gerung memperjuangkan Demokrasi dan Sikap Egaliter, Musuhnya orang-orang seperti RG tersebut adalah Kaum Feodalis. Sosok RG seringkali dimusuhi oleh kaum feodal karena peran dan ucapan RG yang sering menantang otoritas dan status quo yang telah mapan dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Berikut adalah penjelasan kenapa sosok RG menjadi sasaran kebencian kaum feodal di Indonesia.
Pertama, Membongkar ketidakadilan sosial: RG seringkali mengungkapkan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terjadi dalam sistem feodal. RG menyoroti ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, hak-hak asasi manusia, dan kesenjangan antara kelas sosial. RG sosok yang gigih dalam membongkar hal ini, sehingga dapat menjadi ancaman bagi kaum feodal yang memegang kendali atas sumber daya dan kekayaan.
Kedua, Menentang dominasi kekuasaan: Kaum feodal memiliki struktur kekuasaan yang kuat dan dominan dalam masyarakat. RG, dengan keberaniannya dalam menyuarakan kritik terhadap penguasa dan elit feodal, menjadi ancaman bagi kelangsungan dominasi mereka.
Ketiga, Memperjuangkan hak-hak rakyat: RG sering berbicara atas nama rakyat biasa dan memperjuangkan hak-hak mereka. Hal ini dapat membuat kaum feodal merasa terancam karena mereka tidak ingin kekuatan dan hak istimewa mereka tergerus oleh tuntutan masyarakat luas.
Keempat, Mengancam keuntungan penguasa: Kaum feodal sering mendapatkan keuntungan dari sistem yang ada, mereka mendapatkan tunjangan tinggi dengan menjadi komisaris pada BUMN dan jabatan pemerintahan lainnya. Melalui jabatan itu mereka memperoleh keuntungan dari monopoli ekonomi. RG yang mengkritik dan menuntut perubahan terhadap praktik-praktik eksploitasi ini dapat mengancam keuntungan finansial mereka.
Kelima, Membuka pandangan alternatif: RG cenderung memberikan pandangan alternatif dan inovatif terhadap tatanan sosial dan politik. Ide-ide baru ini bisa mengganggu kestabilan sistem feodal dan membuat kaum feodal merasa terancam atas eksistensi dan ajaran mereka yang sudah mapan.
Keenam, Mengancam citra dan legitimasi: Kritikus yang tajam seperti RG dalam mengungkapkan kekurangan dan kesalahan kaum feodal dapat merusak citra dan legitimasi penguasa di mata masyarakat. Ini bisa mengakibatkan tuntutan untuk perubahan dalam sistem yang ada.
Ketika sosok RG berani menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan, korupsi, atau ketimpangan dalam sistem feodal, mereka sering menjadi sasaran persekusi dan penindasan.
Namun, peran sosok berani seperti RG dan tokoh lainnya yang kritis dan berani juga memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan dan meningkatkan kualitas kehidupan rakyat banyak.
Sebagai masyarakat yang beradab, mari kita nilai kritik RG sebagai upaya dalam mendorong perubahan lebih baik dan kritik Rocky Gerung ini tidak layak untuk dipersekusi. Jika persekusi terhadap RG dan tokoh lainnya ada artinya negara sudah diliputi oleh kaum feodal yang anti demokrasi.
Achmad Nur Hidayat, MPP (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)