KUNINGAN (MASS) – Pencanangan pembangunan JLTS (Jalan Lingkar Timur Selatan) oleh Bupati H Acep Purnama, 20 Desember 2022 silam, nampaknya belum memperlihatkan progress yang memuaskan. Pasalnya, hingga saat ini saja pembebasan lahan masih tersendat sampai Citangtu.
Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kuningan, Ir Putu Bagiasna MT mengungkapkan, saat ini pembebasan lahan masih sampai Citangtu. Itu pun masih menyisakan 6 bidang tanah yang perlu pembayaran hasil validasi senilai 3 miliar lebih.
“Sampai sekarang, pembebasan lahan baru sampai Citangtu. Tinggal 6 orang lagi dengan nilai tiga koma sekian M,” sebutnya kala dikonfirmasi kuninganmass.com belum lama ini.
Menurut penjelasannya, anggaran pembebasan lahan di tahun 2022 hanya terserap sekitar 21 M dari pagu 30 M. Angka 20 M tersebut untuk pembebasan di Windujanten sebesar 7,2 M dan Cibinuang sebesar 13,8 M.
Untuk pembebasan di Citangtu menggunakan anggaran 2023 dan baru terserap 8,3 M. Masih dibutuhkan 3 M supaya tuntas. Itu belum masuk pembebasan di Winduhaji yang membutuhkan sekitar 6 M. Sedangkan pembebasan di Kertawangunan tidak termasuk didalamnya.
“Jadi kalau ditotalkan itu anggaran yang telah terserap sebesar 29,5 M dari pengganggaran 60M untuk tahun 2022 dan 2023,” ungkap Putu.
Disinggung soal benturan kepentingan dalam pembebasan lahan, Putu menyebut PP 19/2021 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jika mengacu pada aturan tersebut, dirinya tidak melihat adanya benturan kepentingan.
“Mungkin pada saat menaksir harga. Tapi dari acuan PP tersebut akhirnya penaksiran harga menggunakan konsultan jasa penilai public yang mengindikasikan kenetralan dari pihak-pihak yang berhubungan dengan tanah tersebut, termasuk pemdanya,” jelas Putu.
Bagaimana dengan kepemilikan tanah oleh sejumlah pejabat? Putu mengatakan, hal itu konteksnya berbeda. Kalau melihat PP, sambungnya, tidak melihat seperti itu, bahwa yang dibebaskan murni untuk kepentingan umum.
“Kalau ada tanah milik pejabat dilalui jalan, itu hal yang berbeda dengan konteks pembebasan. Bisa saja terjadi tanah seorang pejabat terkena pembebasan. Tapi kalau melihat penetapan lokasinya (Penlok), dasar hukum SK Bupati. Trasenya seperti apa, lewat kemana, yang kena tanah siapa, lebarnya berapa, itu berdasar SK tadi. Selama yang disetujui dan direviwe sudah benar, pembebasan tak melenceng dari SK, fine-fine saja. Jika berubah dari Penlok, nah itu bermasalah,” jelasnya.
Bagaimana jika Penloknya berubah sampai 3 kali? Putu menjelaskan, Penlok berdasarkan hasil kajian jasa ahli yang ditunjuk berdasarkan satu keputusan. Jasa ahli tersebut ditunjuk untuk menentukan geometric jalan dan trase.
Kalau ada perubahan Penlok, Putu mengatakan, seharusnya merubah Penlok melalui kajian lagi agar tidak ada benturan kepentingan.
“Jadi, berkaca pada keteknisan. Misal, asumsi atau estimasi enginer mengatakan, kalau lewat jalan sini nilainya lebih besar dari pembebasan maka berubah arah atau memperpendek arah,” terang Putu. (deden)