KUNINGAN (MASS) – Pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Maka hak politik perempuan juga pada dasarnya adalah hak asasi manusia, Maka hak politik perempuan juga pada sarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan kerangka dari demokrasi. Keterwakilan perempuan dalam politik masih jauh dari yang diharapkan. Namun, perubahan dan perbaikan terus dilakukan. Berbagai latar belakang, baik budaya maupun adat hingga agama, masih membelenggu perempuan untuk terlibat dalam kancah politik di Indonesia. Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki tujuan yaitu mengangkat nilai-nilai kemanusaian dan membangun pembangunan perspektif keseteraan gender. Indonesia dengan kebanyakan warganya yang menganut budaya patriarkis menyebabkan ketimpangan antara lelaki dan perempuan.
Permasalahan yang dihadapi para perempuan saat ini, bukannya berkurang, tetapi semakin luas dan kompleks. Kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Berdasarkan data bahwa satu dari tiga perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan dan selain pasangannya. Dalam satu tahun terakhir, 8,2 juta perempuan (9,4%) mengalami kekerasan seksual dan fisik. Kekerasan ekonomi yang dilakukan suami terhadap isteri (24%), dan 20,5% kekerasan psikis (SPHPN 2016).
Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan mulai nampak di tingkat SMP. Jumlah anak perempuan yang melanjutkan ke SLTP sedikit lebih rendah (81%: 83%). Anak perempuan yang melanjutkan ke SMA, lebih rendah lagi (69%: 73). Ketimpangan jender dalam akses pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya, masih kuatnya budaya patriarkhi, diyakini bahwa perempuan nantinya akan kembali pada urusan domestk yang tidak perlu berpendidikan seperti mengasuh anak, melayani suami, membersihkan rumah.
Selain faktor budaya patriarkis yang menjadi pemicu diskriminasi terhadap perempuan. Penafsiran ayat-ayat al-quran dan hadist yang bias gender menjadi factor utama adanya masalah tersebut, yang berakibat pada munculnya sikap, perilaku dan tindak kekerasan terhadap perempuan serta kebijakan yang bias gender. Perempuan seringkali mendapatkan streotipe negative yang diterapkan pada diri perempuan oleh tafsir agama. Padahal sejatinya, dimata Tuhan baik laki-laki atau perempuan adalah makhluk yang sama-sama derajatnya. Pada deklarasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon dengan tegas menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga.
Semua ini adalah anugerah Allah Swt yang diberikan kepada setiap manusia yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun atas nama apapun. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. Al-Israā, 17: 70). Ayat tersebut menegaskan bahwa larangan melecehkan martabat perempuan dan perintah memperlakukan mereka secara bermartabat.
Dengan ini, peran dan kontribusi perempuan perlu ikut terlibat dalam politik sangat diperlukan. Bukan saja untuk menunjukan kesetaraannya dengan laki-laki ataupun eksistensinya di ruang publik. Namun, melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan kaum perempuan, menunaikan peran-peran kemanusiaan dan kebangsaan untuk mewujudkan kesejahteraan, mengatasi problem kemanusiaan dan kebangsaan, seperti kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan dan anak, tenaga kerja wanita. Perempuan perlu ikut terlibat lansung dalam pembuatan kebijakan dan penentuan keputusan secara politis untuk memenuhi hak-hak perempuan, dan membangun pearadaban yang berkeadilan.
Dan sesungguhnya perempuan telah eksis dan berperan aktif dalam ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi dan politik sepanjang sejarah dan memberikan sumbangan yang berharga bagi peradaban Islam dan dunia dalam berbagai bidang pengetahuan dan sains. Para sejarawan telah menghimpun nama ribuan ulama perempuan tersebut. Sayang sekali fakta-fakta sejarah ini kemudian tenggelam dalam produk-produk kebijakan politik patriarkisme. Di Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan, telah tampil para ulama perempuan yang telah menginisiasi upaya peneguhan nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan kebangsaan, melalui perjuangan melawan penjajah dan pengembangan pendidikan untuk kaum perempuan. Sebut saja Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Syafiuddin Johan Berdaulat dari Aceh, sosok yang sangat pintar dan aktif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Pada masa pemerintahannya (1644-1675), ilmu dan kesusteraan berkembang pesat. Siti Aisyah Wetin We Tenrille dari Sulawesi selatan, perempuan ilmuwan yang ahli dalam pemerintahan dan kesusasteraan, penulis Epos La-Galigo, yang mencapai 7.000 halaman folio dan pendiri pendidikan modern pertama untuk laki-laki dan wanita di Ternate. Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, perempuan pejuang melawan Belanda dalam perang Aceh. Raden Ajeng Kartini, murid Kyai Sholeh Darat dari Semarang, perempuan cerdas, pelopor pergerakan perempuan Indonesia.
Namun, pada masa orde baru perempuan kembali menghadapi domestifikasi yang dikonstruksi melalui gerakan ideologi ibuisme negara dengan tujuannya adalah membungkam perempuan ikut andil dalam sistem politik dan pemerintahan. Tentunya, gerakan tersebut sampai hari ini sangat melekat di kalangan masyarakat, sehingga perempuan tidak memiliki kesadaran penuh pada persoalan hak-hak nya yang telah direnggut.
Berangkat dari berbagai persoalan yang menimpa pada perempuan serta penafsiran al-quran dan hadis dengan perspektif adil gender. Tentu ini menjadikan gagasan utama bahwa ulama perempuan harus terlibat dan berpartisipasi secara kolektif dan sadar untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan terhadap perempuan. Menghilangkan berbagai dikstriminasi, dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dsb. Ini merupakan gerakan politik perempuan yang perlu menjadi gairah para ulama perempuan hari ini, untuk ikut berperan dalam politik saat ini.
Mengingat tantangan semakin kompleks, berbagai kebijakan baik tingkat nasional maupun internasional (CEDAW, SDGS, ECOSOC), yang menjadi payung hukum advokasi pemberdayaan dan perlindungan perempuan cukup lengkap, namun masih lemah dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini sangat penting peran secara politik yang dilakukan oleh ulama perempuan dalam melakukan advokasi.
Dalam dunia politik saat ini, penting untuk menggabungkan feminisme dan teori post-modern, untuk mengubah cara pandang dari perempuan hanya sebagai pelengkap dan pemanis dalam politik, tapi menjadikan perempuan sebagai kekuatan dalam meningkatkan kualitas politik dan pemerintahan, dan sebagai katalisator perubahan pemerintahan menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Harapannya dengan ikut terlibat dalam sistem politik, perempuan dapat menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Konservatisme terhadap budaya dan agama serta pembatasan hak-hak perempuan dalam politik seringkali mengakibatkan pembatasan dan diskriminasi sehingga perempuan tidak mendapatkan hak dasarnya. Negara seharusnya mampu mengatasi permasalahan tersebut secara optimal melalui kebijakan, peraturan dan sumberdaya yang secara eksplisit memuat prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan. Karena dengan peraturan perundang-undangan, masyarakat dapat menyesuaikan pola interaksi yang meminggirkan dan menindas perempuan serta dapat mengatasi masalah sikap diskriminatif terhadap perempuan.
Oleh karena itu, dalam memperjuangkan kesetaraan gender khususnya dalam dunia politik dan pengambilan keputusan, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkelanjutan, dengan melibatkan pemangku kepentingan yang merupakan aktor politik khususnya partai politik, organisasi masyarakat dan pemerintah melalui instansi terkait dalam pelaksanaannya, pendidikan politik yang lebih luas dan terencana bagi kesejahteraan perempuan.
Penulis : Evi Novianti – Rumah Ramah Nusantara