KUNINGAN (MASS) – Saat pertama kali kata Utopia disampaikan oleh Thomas More tahun 1516 dalam bukunya Utopia, kata ini dimaknai sebagai tempat yang tak ada. Sebuah pulau fiktif yang digambarkan memiliki sistem pemerintahan sempurna. Tata kelola birokrasinya rapi. Presisi. Penegakan hukumnya imparsial. Para pejabatnya betul betul menjadi pelayan rakyat. Rakyatnya guyub. Tetapi sayang itu semua hanya utopia – tempat hayalan. Isyarat mimpi idealis tentang sebuah bangsa.
Merriam-Webster Dictionary memperlebar makna Utopia. Dalam kamus tebal itu Utopia dimaknai “a place of ideal perfection especially in laws, government, and social conditions”. Tempat ideal yang digerakkan oleh orang-orang yang hanya berorientasi pengabdian pada rakyat.
Hati ini bangsa kita merayakan kemerdekan. Ke delapan puluh. Jika usia manusia angka delapan puluh adalah sosok orang tua yang penuh kebijaksanaan. Usai “merdeka” di gang Pegangsaan Timur 80 tahun lalu itu, apakah Republik ini masuk kategori “ideal perfection of nation”.
Mari kita urut kacang. Satu demi satu. Dimulai dari kebutuhan manusianya. Agar ukurannya lebih bisa dipertanggungjawabkan kita pakai kebutuhan manusia ala Abraham Maslow. Pertama Kebutuhan Fisiologis. Kebutuhan kebutuhan fisik. Makan. Rumah. Pakaian. Air bersih. Sanitasi. Transportasi. Itu diantaranya. Apakah Bangsa ini sudah selesai dengan kebutuhan makan rakyatnya. Apakah negara hadir saat rakyatnya butuh pekerjaan. Atau turut aktif dalam mempersulit rakyatnya bekerja. Belum lagi Jerat pajak nyaris di semua lini.
Belum lama ini saya didatangi seorang lulusan sebuah universitas. Terkemuka kampusnya. Bagus nilainya. Tapi dia mengeluhkan ribetnya cara melamar pekerjaan. Harus ada begitu banyak dokumen yang disiapkan. Kartu Kuning dari dinas tenaga kerja. Keterangan tak pernah dipidana dari pengadilan negeri. Untuk buat keterangan tak pernah dipidana harus membuat surat keterangan catatan kepolisian. Tidak lupa surat dari BNN. Bebas dari indikasi pengguna narkoba. Terakhir wajib menyertakan surat keterangan sehat Jasmani dan Rohani. Apakah semuanya diperoleh secara cuma-cuma. Tentu tidak. Biayanya bisa menyentuh lima ratus ribu rupiah lebih. Ingat itu baru perayaratan kerja. Belum tentu bisa bekerja. Bayang-bayang ketakutan melamar pekerjaan dimulai dari hilir. Negara dalam konteks ini belum bisa memerdekakan rakyatnya.
Kebutuhan kedua. Kebutuhan akan rasa aman. Bukan hanya aman dari garong. Pencuri. Perudapaksa. Tapi yang paling hakiki dari rasa aman adalah aman bersuara lantang. Tak dibayangi ketakutan saat menyuarakan keyakinan. Tak dihantui pasal karet pencemaran nama baik. Rasa aman juga bisa dimaknai merasa tenang saat menggarap lahan. Tak diganggu mafia pencuri lahan berkelambu untuk pembangunan. Apalagi untuk program strategi nasional.
Kebutuhan ketiga. Kebutuhan Sosial. Kebutuhan akan rasa akrab. Tak dirundung karena berbeda pendapat. Tak diusik karena besa pilihan politik. Tak dicari kesalahan gegara suarakan perbedaan. Keakraban rakyat kita bebebrapa tahun terbelah. Residu pilihan presiden membelah publik dalam dua arus besar. Pendukung dan perundung. Rasa cinta. Tepak selira. Guyub. Kini mulai beridentitas. Cinta, peduli dan guyub hanya untuk para sekondan. Jika bukan sekondan cinta, peduli dan guyub menjadi bersyarat.
Keempat. Kebutuhan penghargaan. Penghargaan ini bukan sekedar medali. Lencana atau sertifikat. Tapi pengakuan atas hadirnya atas karyanya. Ricky Elson dan Danet Suryatama contoh minimnya pengakuan dan penghargaan negara. Padahal keduanya pembuat mobil listrik nasional sejak 2013. Mobil Gendhia dan Selo tak ada kabarnya hingga kini. Fenomena #kaburajadulu bukti lain dari gundah yang dirasakan para tunas tunas muda unggul tapi tak dapat pengakuan dari Republik ini.
Terakhir ada kebutuhan aktualisasi diri. Ini kebutuhan tertinggi manusia. Kebutuhan inilah manusia berusaha mencapai potensi paripurna dirinya. Berharap berkembang. Bekontribusi kepada orang lain. Gembar gembor bonus demografi hanya dilantangkan dalam upacara. Tapi minim dukungan terhadap anak muda nyata terasa.
Dari lima kebutuhan tadi, mana kebutuhan yang sudah terpenuhi dan dipenuhi negara. Optimisme harus tetap dinyalakan. Tak boleh padam. Semoga kemerdekaan ini bukan sekedar kemerdekaan utopia ala Thomas More. Tapi merdeka nyata yang pejabat dan rakyatnya memberi dan merasakan semua yang ideal secara nyata.
Dirgahayu Indoensia-ku
Abdul Jalil Hermawan