KUNINGAN (MASS) – Data berbicara nyaring, bahwa Kabupaten Kuningan menempati posisi kedua Upah Minimum Kabupaten (UMK) terendah se-Jawa Barat dan kelima terendah secara nasional untuk tahun 2025. Angka Rp 2,2 juta setelah melalui proses negosiasi yang alot, bukanlah sebuah prestasi, melainkan cerminan dari sebuah masalah struktural yang kronis. Kenaikan 6,5% ini, meski di atas inflasi, hanyalah ibarat menambal berlubangnya perahu dengan selotip. Ia tidak akan mampu menahan gelombang biaya hidup yang kian meninggi, dan yang lebih memprihatinkan, ini menegaskan posisi Kuningan sebagai “anak tiri” dalam peta pembangunan ekonomi regional.
Analisis kritis ini tidak sekadar mengecam angka, tetapi mempertanyakan fondasi kebijakan yang membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Cirebon—sebuah wilayah pertumbuhan—kenapa Kuningan justru tertinggal? Referensi dari berbagai pemberitaan menunjukkan kompleksitas masalah. Di satu sisi, Pemerintah Daerah kerap menyitir daya saing investasi dengan menjaga upah rendah. Namun, di sisi lain, para pekerja mengeluh bahwa upah ini tidak lagi manusiawi untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi memutar roda ekonomi lokal.
Strategi mempertahankan upah murah sebagai daya tarik investasi adalah strategi usang dan self-defeating. Investor cerdas justru mencari ekosistem yang unggul: infrastruktur memadai, sumber daya manusia (SDM) yang terampil, dan stabilitas sosial. Upah rendah hanya akan menarik industri padat karya berteknologi rendah yang rentan terhadap gejolak dan tidak berkelanjutan. Alih-alih menjadi magnet, kebijakan ini justru memicu “brain drain” dan “skill drain”, di mana tenaga kerja terampil dan kaum muda terdidik memilih merantau ke kota lain yang menawarkan imbalan lebih layak, sehingga semakin mengeringkan potensi pembangunan di dalam negeri.
Dengan realitas ini, kami mempertanyakan target konkret Pemerintah Daerah untuk UMK 2026. Apakah kita akan puas dengan peringkat kedua atau kelima terendah? Atau ada komitmen politik yang berani untuk mendorong Kuningan keluar dari kubangan prestasi negatif ini? Target 2026 haruslah bukan sekadar kenaikan persentase, melainkan sebuah lompatan strategis untuk setidaknya mengeluarkan Kuningan dari daftar 10 besar UMK terendah di Jawa Barat. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan solusi yang komprehensif dan berani, meninggalkan paradigma businessas usual.
Langkah pertama adalah dengan memutar haluan strategi investasi dari bergantung pada upah murah menuju penciptaan nilai tambah. Pemerintah harus aktif menjual potensi unggulan Kuningan yang sesungguhnya, dengan fokus pada sektor-sektor bernilai tinggi berbasis kekuatan lokal. Dalam sektor agroindustri dan kuliner, kekayaan hasil bumi seperti padi dan ubi seharusnya tidak lagi diekspor sebagai bahan mentah, melainkan diolah menjadi produk pangan jadi yang bernilai lebih tinggi melalui undangan investasi di industri food processing. Hal ini akan menciptakan rantai pasok yang panjang dan lapangan kerja dengan upah yang lebih layak. Sektor pariwisata juga harus ditingkatkan kastanya; optimasi potensi Gunung Ciremai dan situs-situs sejarah melalui pendekatan ekowisata dan edukasi yang melibatkan komunitas lokal, sehingga pendapatan dari pariwisata dapat dinikmati secara lebih merata.
Solusi ini mustahil terwujud tanpa didukung oleh revolusi di bidang infrastruktur dan konektivitas. Perbaikan akses jalan menuju dan di dalam kawasan potensial, serta penguatan konektivitas digital hingga ke pelosok desa, adalah prasyarat mutlak untuk menarik investasi bernilai tinggi dan menciptakan efisiensi usaha. Infrastruktur yang lancar adalah urat nadi dari seluruh lompatan ekonomi yang diimpikan.Selaras dengan pembenahan infrastruktur, peta jalan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terintegrasi menjadi kunci penentu. Diperlukan kolaborasi erat antara Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan untuk merancang program pelatihan vokasi yang selaras dengan kebutuhan industri masa depan, baik di sektor pariwisata, teknologi informasi, maupun logistik. SDM yang unggul tidak hanya berhak, tetapi juga akan menarik upah yang unggul, memutus siklus upah rendah.
Terakhir, fondasi ekonomi Kuningan yang bertumpu pada pertanian harus dimodernisasi. Pertanian yang modern dan berkelanjutan dengan adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan diversifikasi produk, serta pengembangan sistem pemasaran kolektif, akan memperkuat posisi tawar petani. Peningkatan pendapatan di sektor pertanian ini akan memberikan dampak berganda yang signifikan bagi perekonomian Kabupaten Kuningan secara keseluruhan, sekaligus menjadi basis kesejahteraan yang kokoh. Pemerintah Daerah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi yang kuat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memastikan Kuningan tidak tertinggal dalam strategi pembangunan regional. Momentum penetapan UMK 2026 harus menjadi alat politik untuk mendesak aksi nyata, bukan sekadar ritual tahunan yang menghasilkan angka yang memalukan.
Sudah waktunya kita mengubah narasi. Kuningan tidak layak hanya menjadi catatan kaki dalam laporan kesejahteraan. Dengan potensi yang dimilikinya, Kuningan berhak berdiri sejajar dan memberikan kehidupan yang layak bagi warganya. Mari bersama wujudkan komitmen nyata menuju UMK Kuningan 2026 yang bukan lagi sekadar angka, tapi cerminan dari keadilan dan kemajuan yang inklusif.
Oleh: Rifqi Fadhillah, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Kuningan Indonesia (HMKI)