KUNINGAN (MASS) — Film animasi “Merah Putih: One for All” yang dirilis pada 14 Agustus 2025 di seluruh bioskop, menjadi sorotan tajam di dunia perfilman Indonesia. Disutradarai oleh Endiarto dan Bintang Takari, film ini berfokus pada petualangan sekelompok anak yang mencari bendera Merah Putih yang hilang menjelang perayaan kemerdekaan desa mereka.
Dengan tema yang relevan menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, film ini seharusnya menjadi momen yang membanggakan. Namun, kontroversi menyelimutinya sejak sebelum pemutaran perdana.
Tanggapan dari Yanto, seorang animator asal Kuningan yang memiliki pengalaman di berbagai industri perfilman nasional, menunjukkan kekhawatirannya terkait kualitas film ini. “Disclaimer dulu sebelum jauh, film tersebut menjadi salah satu perbincangan di studio-studio besar juga,” tutur Yanto kala diwawancara kuninganmass.com pada Minggu (17/8/2025).
Ia juga menambahkan alasan utama yang belum ditemukan terkait mengapa film seperti itu bisa masuk ke bioskop. “Tapi yang menjadi sorotan utama adalah kenapa bisa lolos masuk bioskop, sementara banyak diketahui syarat tayang di bioskop itu cukup ketat kadang masuk antrian berbulan bulan bahkan tahun, nah ini bisa cepat dan lolos tayang bioskop,” jelas Yanto.
Kontroversi ini semakin memanas dengan banyaknya kritik yang dilontarkan oleh penonton dan kritikus film. Mereka mempertanyakan bagaimana film dengan kualitas animasi yang dianggap buruk ini bisa mendapatkan izin tayang. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih dalam tentang proses seleksi dan standar kualitas yang diterapkan oleh produser dan distributor film di Indonesia.
Film “Merah Putih: One for All” seharusnya menjadi representasi positif dari semangat kemerdekaan, tetapi dengan kontroversi yang mengelilinginya, banyak yang merasa film ini justru merusak citra perfilman animasi Indonesia. Yanto mengingatkan bahwa kualitas animasi yang baik sangat penting untuk menarik minat penonton, terutama generasi muda yang menjadi target utama film animasi.
Di tengah kritik yang mengalir, Yanto berharap agar industri perfilman Indonesia dapat belajar dari kesalahan ini dan tidak mengulangi proses produksi yang sembarangan. “Kualitas sangat tidak layak, banyak pipeline yang dilewat bahkan setengah matang pun belom, dari kualitas bisa dinilai sebanding karya anak SMK tahun belasan, bahkan karya SMK tahun 20 an aja udh jauh lebih bagus,” pungkas Yanto. (raqib)