CIREBON (MASS) – Salah satu jenis batik yang tetap eksis hingga kini adalah Batik Ciwaringin yang berasal dari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat yang sudah ada sejak abad ke 18. Dengan keunikan dan teknik pembuatan yang memiliki ciri khas tersendiri, batik ini berfokus pada penggunaan bahan alami sebagai pewarna, menjadikannya salah satu produk kerajinan yang ramah lingkungan.
Salah satu perajin Batik Ciwaringin, Farhan Jazuli menjelaskan penggunaan pewarna alami tidak hanya lebih aman untuk lingkungan, tetapi juga tidak menimbulkan limbah berbahaya.
“Kami menggunakan materi dari pohon mahoni, pohon mangga, kulit jengkol, dan kulit buah rambutan sebagai pewarna. Ini menjaga keaslian batik dan memberikan sentuhan yang tidak bisa ditiru oleh pewarna kimia,” ujarnya saat ditemui langsung di lokasi pembuatan batik.
Sejarah Batik Ciwaringin di Indonesia sudah ada sejak akhir abad ke-18, menjadi bagian penting dari budaya lokal. Farhan menambahkan meskipun pewarna kimia dari India dan Jepang sempat mendominasi pasar pada era 1980-an, Batik Ciwaringin tetap bertahan dengan metode pewarna alami yang telah diwariskan turun temurun.
Namun, perjalanan Batik Ciwaringin tidak selalu mulus. Pada tahun 1990-an, popularitas batik sablon dan printing membuat banyak perajin mengalami kesulitan. “Saat itu, kami hampir punah karena kalah bersaing dalam penjualan. Namun, kami tetap berpegang pada kualitas dan keaslian batik kami,” tambahnya.
Sampai saat ini, Batik Ciwaringin tetap menggunakan pewarna alami dan mempertahankan proses pembuatan manual, yang memakan waktu cukup lama. “Satu kain sepanjang 2,5 meter bisa memakan waktu setengah bulan hingga satu bulan sampai jadi,” paparnya.
Motif-motif khas Batik Ciwaringin, seperti Rajeg Wesi, Yusupan, Sedapur, Gribigan, dan Pasungan, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta batik. Setiap motif memiliki makna dan cerita yang mendalam, menjadikan batik ini tidak hanya sekadar kain, tetapi juga sebuah karya seni yang alami.
Dalam hal harga, Batik Ciwaringin berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta untuk bahan katun. Meskipun harganya tergolong tinggi, pasar dunia mulai menunjukkan minat terhadap motif dan cara pewarnaan Batik Ciwaringin yang tidak dimiliki di tempat lain.
“Kami berkomitmen untuk terus menjaga tradisi ini, sambil beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang ada,” pungkasnya. (raqib)
