KUNINGAN (MASS) – Langit Kota Bandung masih kelabu pagi itu. Udara dingin menyelusup ke sela-sela jaket lusuh yang dikenakan Reza. Di bangku taman yang sepi, ia duduk menunduk. Pandangannya kosong, namun hatinya penuh sesal. Di tangan kirinya, selembar kertas hasil tes kesehatan masih terlipat rapi. Tapi baginya, itu bukan sekadar hasil medis. Itu seperti vonis masa depan.
“Reza, kamu yakin mau cerita semua ini?” tanya Dika, sahabat masa kecilnya yang kini menjadi relawan pendamping ODHIV (Orang dengan HIV).
Reza mengangguk pelan. “Gue udah capek nutupin semua, Dik. Mungkin ini cara Tuhan negur gue.”
Reza bukan anak yang dibesarkan dalam lingkungan buruk. Ayahnya guru, ibunya aktif di pengajian. Tapi saat kuliah, Reza terseret arus gaya hidup yang dianggap ‘kekinian’. Bebas berekspresi, bebas memilih orientasi, dan bebas dari nilai yang selama ini dijaga keluarganya.
“Awalnya cuma coba-coba. Gue pikir, selama nggak ganggu orang, sah-sah aja kan?” ucapnya lirih.
Namun kenyataan berkata lain. Dalam kurun waktu tiga tahun, hidup Reza berubah drastis. Ia kehilangan kesehatannya, dijauhi teman, dan kini menanggung sesuatu yang tak bisa dihapus, statusnya sebagai ODHIV.
Angka yang Bicara: Lebih dari Sekadar Statistik
Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2024, dari 1,191 juta orang yang dites HIV, 3.247 kasus berasal dari kelompok lelaki seks lelaki (LSL). Ini bukan angka mati. Ini adalah kisah nyata seperti Reza. Setiap angka menyimpan nama, masa lalu, dan air mata.
Dr. Kusnandi Rusmil, Guru Besar FK Unpad, pernah mengatakan kepada salah satu media mainstream pada 28 Juni 2024, “HIV tak hanya soal virus. Ini adalah cerminan rusaknya nilai dan longgarnya pengawasan budaya.”
Dika menatap Reza dengan mata berkaca. “Lo tahu nggak, bro, banyak yang kayak lo. Mereka cuma butuh tempat kembali.”
Ketika Pencegahan Tak Menyentuh Akar
Pemerintah terus berusaha. Tes massal, edukasi, pembagian kondom, semua dilakukan. Tapi mengapa angka tetap naik?
Karena akar masalahnya bukan pada ketidaktahuan, tapi pada pembiaran. Ketika perilaku menyimpang dibungkus sebagai hak, maka kita lupa bahwa kebebasan yang tak terarah bisa jadi jalan menuju kehancuran.
Reza terdiam lama. Lalu ia berkata, “Gue rasa, kebebasan itu harus punya batas. Kalau enggak, kita bisa jadi hancur… kayak gue.”
Solusi yang Terlupakan: Jalan yang Pernah Terbukti
Dika mengangguk. “Lo tahu nggak, dalam Islam, perilaku menyimpang kayak gini dulu dicegah sejak dini. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan pendidikan, kasih sayang, dan sistem yang ngarahin manusia ke jalan yang benar.”
Reza menatap sahabatnya dengan heran. “Serius lo? Gimana caranya?”
“Islam ngajarin dari akarnya. Rasulullah Saw. membina akidah, menguatkan akhlak, dan negara punya sistem yang melindungi masyarakat. Perilaku yang nyimpang itu dicegah bukan cuma secara individu, tapi juga secara sosial.”
Dika membuka ponselnya, lalu membacakan ayat, “Dan Kami ciptakan kamu berpasang-pasangan (laki-laki dan perempuan).” (QS. An-Naba: 8)
“Artinya, hidup sesuai fitrah itu bukan tekanan, tapi anugerah. Islam itu menjaga, bukan menghakimi.”
Kembali ke Fitrah: Jalan Menuju Harapan
Reza terdiam. Angin menerpa wajahnya. Tapi kali ini, ada kehangatan di balik dingin itu. “Lo tahu, mungkin ini cara Tuhan nyuruh gue balik. Gue nggak mau anak-anak nanti lahir di dunia yang ngerasa bebas itu segalanya, tapi justru kehilangan arah.”
“Lo masih bisa berubah, Za. Kita semua bisa. Tapi kita butuh sistem yang juga mendukung. Gak cukup sendirian,” sahut Dika.
Penutup
Hari itu, di bawah langit yang mulai cerah, Reza melipat kembali hasil tesnya. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk disimpan sebagai pengingat. Bahwa di balik angka, ada jiwa yang mencari jalan pulang.
Bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari kebijakan besar, tapi dari keberanian satu hati untuk kembali pada fitrahnya. Karena sejatinya, manusia tidak diciptakan untuk menentang kodratnya, tetapi untuk menjaganya. Agar dunia tetap sehat, suci, dan bermartabat.