KUNINGAN (MASS) – Kabupaten Kuningan dikenal sebagai kota pendidikan, religius, dan berbudaya. Tapi belakangan ini, wajah ideal itu tercoreng oleh fakta yang tak bisa lagi disembunyikan: kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan semakin marak, bahkan terjadi di ruang-ruang yang seharusnya aman.
Berdasarkan data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kuningan, sejak Januari hingga Mei 2025 saja, sudah lebih dari 67 kasus kekerasan terhadap anak dan puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani. Ini hanyalah angka yang tercatat dilapangan, banyak kasus lain tidak dilaporkan karena korban takut, malu, atau tidak tahu harus mengadu ke mana.
Yang lebih menyakitkan, sebagian besar pelaku justru berasal dari lingkungan dekat korban, seperti keluarga, guru, pengasuh, bahkan tokoh masyarakat. Tidak sedikit pula kasus yang gagal diproses secara adil karena pelaku dilindungi oleh organisasi atau lembaga tempat mereka bernaung. Dalam beberapa kasus, pelaku hanya dipindahkan atau dilindungi demi menjaga citra lembaga. Sementara korban dibiarkan terluka, sendiri, dan terdiam.
Sebagai mahasiswa sekaligus praktisi hukum, saya melihat langsung bagaimana proses hukum sering tidak berpihak pada korban. Saya juga menyaksikan bagaimana masyarakat kerap kali lebih sibuk menjaga nama baik institusi daripada memperjuangkan keadilan. Ini bukan lagi sekadar kegagalan moral, tetapi juga kegagalan sistemik.
Kita tidak bisa terus diam.
Sudah saatnya Kuningan menata ulang cara kita menghadapi kekerasan seksual. Kita perlu membangun sistem yang berpihak pada korban: dari pendidikan seksualitas berbasis perlindungan, prosedur pelaporan yang aman, pendampingan hukum yang jelas, hingga hukuman tegas bagi pelaku tanpa kompromi terlepas dari siapa dia dan berasal dari mana.
Kita juga perlu membongkar budaya diam. Kekerasan seksual bukan aib korban, tapi kejahatan pelaku. Menutup-nutupinya hanya akan melanggengkan impunitas. Diam terhadap kekerasan sama saja dengan membiarkannya terjadi lagi.
Ini bukan lagi soal siapa yang salah, tapi tentang bagaimana kita bisa sama-sama mencegah agar tidak ada lagi anak atau perempuan yang menjadi korban berikutnya.
Sudah saatnya Kuningan berdiri tegas. Kita tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu, atau menutup mata demi kenyamanan semu. Anak-anak dan perempuan di Kuningan berhak hidup dengan rasa aman.
Oleh: Teddy Ilham Fadillah