KUNINGAN (MASS) – Pagi hari saya duduk di halaman untuk menyambut hari, ditemani secangkir kopi sambil mendengarkan berita hangat. Seorang anak kecil penjual cobek setiap hari bukan karena ingin belajar berdagang ataupun keinginan pribadi, namun untuk menyambung hidup kebutuhan sehari-hari. Namanya Tama usianya 10 tahun orang tuanya telah berpisah, keluarganya serba kekurangan. Bukan hanya kesulitan ekonomi Tama juga mengeluh tidak mau sekolah karena kerap terjadi pembulian terhadap dirinya di sekolah.
Di sisi lain seorang ibu yang merupakan seorang karyawan disuatu perusahaan di PHK setelah mengabdi selama 10 tahun untuk perusahaan. Bernama ibu Utik seorang kepala keluarga memiliki 3 orang anak. Bukan karena ia tak mampu bekerja, tapi karena roda kehidupan kadang berputar tak peduli pada kesetiaan dan pengorbanan, Dan sekarang Ibu Utik hanya berjualan takjil di pinggir jalan untuk menyambung hidup ekonomi keluarganya. Dan di sudut lain 4 orang anak yatim tidak diurus oleh ibunya karena ibunya menikah lagi.
Beginilah kehidupan. terdapat luka yang tidak terlihat, suara tangis yang tidak terdengar, dan keringat perjuangan yang tidak terekspos media. Dalam kondisi seperti ini pernahkah kita bertanya dalam hati kita “Ya Allah kenapa seperti ini” atau lebih dalam lagi “Ya Allah dimana engkau, yang katanya maha pemurah, maha pengasih, maha segala-galanya”. Pertanyaan yang selalu terlontar dari orang-orang yang sedang tersungkur, orang-orang yang kehilangan arah.
Pertanyaan ini bukanlah tanda lemahnya iman, tapi bentuk pencarian akan makna dan harapan. Sebab kenyataannya, Allah tidak pernah pergi, Allah selalu lebih dekat dengan kita lebih dari apapun, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Qaf ayat 16:
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
Ternyata dialah yang paling dekat, lebih dekat daripada urat leher. Artinya dialah yang paling mengetahui segala sesuatu, yang mengetahui isi hati sebelum kita mengucapkannya. Namun kadang kala manusia lupa Allah hadir bukan hanya ketika kita bahagia dan bersyukur, tapi juga dalam keadaan terpuruk.
Pertanyaannya adalah untuk apa Allah membebankan kita ujian sehingga sebagian manusia mengalami depresi bahkan ODGJ? Teringat sebuah cerita dari Ustadz Adi Hidayat dalam salah satu kajian nya, ketika Ustadz Adi tengah berceramah ada seorang ibu menangis, yang ternyata ada salah satu teman jamaahnya yang sedang sakit kronis tidak bisa menghadiri kajian.
Setelah mendoakan kesembuhannya Ustadz Adi melanjutkan ceramahnya yang tidak berlangsung lama ibu tadi menangis lebih kencang, ketika ditanya ternyata teman jamaahnya yang tadi sakit dikabarkan meninggal dunia, setelah Ustadz Adi dan para jamaah bertakziah ternyata jamaah yang meninggal tersebut dulunya seorang pramugari, tanpa niat menjatuhkan pekerjaan tertentu, yang kita tau pramugari biasanya berpenampilan kurang baik, kurang sopan untuk dilihat terutama untuk seorang muslim.
Beliau hijrah dan keluar dari pekerjaan tersebut, beliau mulai mengikuti kajian-kajian untuk memperdalam agama. Secara logika seharusnya seseorang ketika memperbaiki diri, merubah diri menjadi lebih baik mendapatkan balasan yang lebih baik, namun yang dialami oleh jamaah ini adalah kebalikannya.
Apakah Allah tidak adil? Ustadz Adi menerangkan bahwa Allah berfirman dalam Qs Al-baqarah ayat 216
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Jikalau jamaah tadi tidak diberikan ujian sakit, bahkan sampai meninggal dunia apakah bisa menjamin dia akan tetap istiqomah dalam ketaatan? Inilah bentuk kasih sayang Allah, Allah wafatkan dia dalam keadaan baik, keluarga yang baik, dan lingkungan baik. Bisa jadi ketika kita mendapatkan ujian itulah yang terbaik untuk kita dan ketika kita mendapatkan kebahagiaan bisa jadi itu bukan yang terbaik untuk kita. Dan potongan kalimat akhir dalam ayat tersebut yang menjelaskan segalanya “Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
Maka jika kita dalam keadaan terpuruk satu-satunya jalan yang terbaik adalah Kembali, jangan terburu-buru menyalahkan takdir. Tenanglah, tarik napas, dan bertanya: Di mana Allah dalam hidupku? Karena sering kali jawaban dari segala kegelisahan bukan pada dunia yang berubah, tapi pada hati yang perlu kembali.
Oleh: Achmad Nurjanah – Mahasiswa STISHK