KUNINGAN (MASS) – Pekan itu Jepang diluluh lantahkan oleh tentara sekutu. Dua kota besar Hirosima dan Nagasaki yang hancur lebur oleh bom atom pada 6 dan 9 Agustus 1945 menjadi tanda menyerahnya Jepang kepada tentara sekutu. Jepang kembali kepada titik nol, setelah beberapa tahun terakhir ambisinya menjadi penguasa Asia dalam gerakan Tiga A (Ajia no hikari Nippon, Ajia no botai Nippon, Ajia no shidōsha Nippon yang berarti Jepang cahaya Asia Jepang pelindung Asia Jepang pemimpin Asia ) harus mengalami kegagalan.
Namun di tengah keterpurukan yang melanda negerinya, nampaknya Kaisar Hirohito masih berharap Jepang masih bisa berdiri, bangkit dari kejatuhan yang menyakitkan dan menatap secercah harapan. Kaisar Jepang ke 142 yang berkuasa pada tahun 1926 hingga 1989 itu menyimpan harapan tiada lain kepada sosok yang bernama “guru”.
Dikumpulkannya Jenderal-Jenderal yang masih hidup dalam ketegarannya ia menanyakan kepada para Jenderal “Berapa jumlah guru yang tersisa?”
Ada restorasi besar yang harus dilakukan Kaisar pasca kehancuran Jepang. Mengapa pula yang diperhitungkan bukan berapa jumlah militer yang tersisa, aset gedung yang tak hancur dan sektor ekonomi yang masih bertahan. Kaisar justru bertanya mengenai keberadaan guru.
Maka catatan penting yang kemudian banyak diinterpretasikan para sejarawan dengan mengatakan bahwa dalam keterbatasannya Kaisar telah bersikap cerdas. Dengan mengumpulkan hampir 45000 guru merupakan kesadaran betul yang diinsyafi oleh Kaisar dan seluruh bangsa Jepang bahwa kebangkitan yang paling fundamental adalah kebangkitan yang dimulai dari Pendidikan.
Tentu saja Jepang juga melakukan restorasi dalam bidang militer, ekonomi, sosial, kesehatan dan juga pemerintahan. Namun itu semua diawali dengan membangun pendidikan.
Pendidikan adalah ruh yang menghidupkan banyak sendi-sendi peradaban. Inilah yang Allah isyaratkan kepada umat mansia, bahwa sesaat setelah Adam alaihisalam diciptakan maka yang Allah lakukan kepada Adam adalah dengan mengajarkannya suatu ilmu.
“Dia (Allah) mengajarkan Adam semua nama-nama (benda), kemudian menampilkan semuanya dihadapan malaikat, lalu mengatakan, sebutkanlah kepada –Ku nama-nama semua benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqoroh: 31).
Bahkan ketika Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam dinobatkan sebagai Rasul, kalamullah yang diwahyukan adalah “iqra – bacalah”.
Kerana itu agar ruh pendidikan benar-benar menjadi ruh kebangkitan, kita perlu menyadari beberapa hal.
Pertama, pendidikan tidak diredukasi pada kelas-kelas sekolah. Terlalu sempit berbicara pendidikan berarti berbicara sekolah. Sejatinya pendidikan harus hadir di setiap ruang dan waktu. Di setiap kejadian selalu ada pembelajaran, setiap orang adalah guru dan setiap jengkal tanah adalah tempat belajar.
Pengalaman adalah guru terbaik, pun berarti pengalaman adalah proses pendidikan yang tidak pernah berhenti, tak berjenjang, tak berijazah namun meninggalkan banyak ibrah dan hikmah. Tentu bagi siapa yang mau dan mampu mengambil pelajaran.
Orang berpendidikan bukan hanya mereka yang berijazah S1,S2, Doktor dan Profesor. Orang berpendidikan adalah orang yang selalu menjadikan hari-harinya adalah pelajaran. Orang berpendidikan berprinsip sebagaimana sabda Nabi “Uthlubul Ilma Faridlatun ala kulli muslimin wal muslimat minal mahdi ila lahdi” yang berarti “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan sejak dalam buayan hinggal lubang kematian”.
Kedua, pendidikan adalah hak setiap jiwa. Pendidikan dalam kelas-kelas sekolah harus terjangkau oleh setiap orang. Keran ini adalah amanat undang-undang. Tidak boleh ada seorang pun warga negara yang terhalang akses menuju sekolah, dari sisi materi, sarana dan prasarana.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah komitmen kita semua pasca merdeka bahkan menjadi alat perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Oleh sebab itu, negara harus memastikan tidak ada seorang warga negara yang tidak merdeka dalam hak aksesnya terhadap sekolah sejak pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi.
Ketiga, pendidikan harus dimulai sejak keluarga hingga hubungan antar umat manusia. Orangtua terutama Ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Menciptakan pendidikan yang berkualitas di negeri ini harus diawali dengan menciptakan pendidikan keluarga yang berkualitas pula. Maka sudah barang tentu pendidikan kelarga berkualitas adalah karena ada sosok ibu yang memberikan asuhan terbaik bagi anak-anaknya. Mansuia lahir dari sebuah keluarga yang kemudian berkembang menuju populasi sosial yang lebih luas yaitu masyarakat, lalu menjadi bangsa dan umat manusia di seluruh dunia. Semua harus ditata dengan satu alat besar bernama pendidikan.
Mari menghadirkan pendidikan dalam ruang waktu yang seluas-luasnya. Tidak terbelenggu dalam euforia seremonial hari pendidikan atau hari guru atau hari-hari apapun namanya yang terkadang memakan anggaran yang justru mengesampingakn instrumen pendidikan yang lebih ruhiyah.
Diujung tulisan ini penulis berharap ruh pendidikan di negeri kita benar-benar menjadi ruh kebangkitan peradaban yang sesungguhnya. Maka pendidikan itu sendiri juga harus memiliki ruh. Apa artinya gedung sekolah megah, fasilitas serba ada, guru-guru bergelar mentereng, tapi di dalamnya tidak ada ruh pendidikan sama sekali.
Tentu benarlah adanya petuah Kyai Imam Zarkasyi dan Kyai Hasan Abdullah Sahal Gontor untuk kita semua “at-thariqah ahammu minal maddah, wal mudarris ahammu minat thariqah, wa ruhul mudarris ahammu minal mudarris nafsihi” yang berarti “materi Ilmu itu penting, namun metode lebih penting dari materi. Metode itu penting, namun guru lebih penting dari metode. Guru itu penting, namun jiwa, ruh (karakter) guru jauh lebih penting dari guru itu sendiri.
Penulis: Agus S. Saefullah, M.Pd.
Dosen STEBIS Muhammadiyah Sumedang