Untuk apa perayaan besar jika keadilan masih diteriakkan di jalanan
Untuk apa pesta karnaval jika rakyat merasa dikhianati oleh wakilnya
Peringatan Hari Jadi Kuningan ke-527 seharusnya bukan hanya momen syukur, tetapi juga momentum perlawanan moral terhadap ketidakadilan.
Peringatan HUT ke-527 Kabupaten Kuningan tahun ini berlangsung dalam suasana yang tak biasa. Perayaan yang seharusnya menjadi momen kebanggaan dan rasa syukur atas sejarah panjang Kabupaten Kuningan, justru bertepatan dengan gejolak politik nasional: demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan seruan publik yang kuat untuk keadilan sosial. Fenomena ini mengajarkan kita bahwa sejarah dan politik bukanlah entitas yang terpisah, melainkan saling terkait dalam kehidupan berbangsa.
Sejarah Kuningan menyimpan pesan penting tentang perlawanan dan keberanian menegakkan kebenaran. Sejak Perjanjian Linggarjati tahun 1946, Kuningan telah dikenal sebagai tempat lahirnya diplomasi, landasan kedaulatan nasional. Semangat itu patut dicerminkan hari ini, ketika masyarakat di berbagai daerah, termasuk Kuningan, lantang menyuarakan tuntutan keadilan dan menolak elite politik yang dianggap tak lagi berpihak pada rakyat.
Demonstrasi menentang pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjalar dari ibu kota hingga daerah, termasuk gaungnya di Kuningan, menunjukkan adanya jurang kepercayaan antara rakyat dan wakil rakyat. Banyak pihak menilai DPR hanya disibukkan dengan kepentingan kelompok, menghabiskan anggaran hanya untuk reses seremonial, tanpa komitmen nyata terhadap nasib rakyat. Dalam konteks ini, Hari Ulang Tahun Kuningan bukan sekadar perayaan seremonial tahunan, melainkan panggilan moral untuk meneguhkan kembali komitmen kita kepada rakyat, sebagaimana tercermin dalam nilai-nilai yang diwariskan para leluhur.
Al-Qur’an menekankan pentingnya keadilan dalam kehidupan berbangsa:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil dan berbuat baik, dan berbuat baik kepada kerabatmu, dan melarang kamu dari perbuatan keji, jahat, dan bermusuhan. Dia mengajarkan kamu agar kamu mengambil pelajaran” (Al-Qur’an, An-Nahl: 90).
Ayat ini menjadi landasan moral bahwa keadilan bukan hanya tuntutan rakyat, melainkan amanah ilahi yang wajib dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin.
Sebagaimana pernah ditegaskan Bung Hatta: “Demokrasi tidak dapat eksis tanpa keadilan sosial. Demokrasi hanya dapat tumbuh subur dalam masyarakat yang menjunjung tinggi rasa keadilan.” Kutipan ini seakan menjembatani semangat reformasi kerakyatan saat ini dengan nilai-nilai perjuangan para pendiri bangsa yang tak boleh dikhianati.
Peringatan hari jadi ini hendaknya menjadi ruang refleksi: apakah pembangunan di Kuningan benar-benar berkeadilan? Apakah kebijakan yang dikeluarkan dari pemerintah pusat hingga daerah mampu menjawab jeritan rakyat? Apakah para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun daerah, masih setia pada janji-janji pengabdian mereka kepada rakyat? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin relevan seiring gelombang protes rakyat yang mengguncang bangsa dan menuntut perubahan struktural dalam representasi politik.
Kuningan, yang kini berusia 527 tahun, dengan segala tantangannya, seharusnya berdiri di garda terdepan dalam perjuangan keadilan. Ia tak sekadar membanggakan warisan sejarah Linggarjati, tetapi juga menghadirkan “Linggarjati baru” dalam konteks modern: sebuah kesepakatan sosial yang adil, partisipatif, dan berpusat pada rakyat.
Peringatan 527 tahun ini seharusnya dirayakan bukan hanya sekadar sebagai festival budaya atau karnaval sejarah, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat kesadaran kritis publik dan mengobarkan kembali api perjuangan keadilan. Pada akhirnya, yang membuat Kuningan tetap bertahan selama lebih dari lima abad bukanlah kemewahan seremonial, melainkan ketangguhan masyarakatnya dalam menghadapi zaman.
Kuningan pernah melahirkan Perjanjian Linggarjati yang menggemparkan dunia. Kini, di usianya yang ke-527, Kuningan ditantang untuk menciptakan “Linggarjati baru” sebuah perjanjian sosial yang adil, bermartabat, dan pro-rakyat. Tanpa itu, sejarah hanya akan mengenang kita sebagai pewaris yang lalai.***
Penulis : Eman Sulaeman (Akademisi Kuningan)