KUNINGAN (MASS) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu kebijakan unggulan pemerintah, kini justru menghadapi sorotan. Sejumlah kasus keracunan massal di kalangan siswa penerima program menimbulkan pertanyaan serius. benarkah MBG menghadirkan gizi, atau justru risiko baru?
Bahkan yang terbaru terjadi kasus lebih dari 1000 orang siswa di Bandung Barat diduga keracunan MBG. Data CISDI mencatat 5.626 kasus keracunan di 16 provinsi sejak Januari 2025, melonjak menjadi 6.452 kasus pada September. Pemerintah sendiri mengakui 4.711 porsi dari sekitar 1 miliar porsi makanan yang didistribusikan mengalami keracunan. Namun, ia menilai kejadian tersebut masih dalam batas wajar
Keracunan di Bandung Barat akibat adanya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Tjandra mengatakan, menurut WHO kontaminasi bakteri Salmonella dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas dan telur. Lalu ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan antara lain dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.
Lebih jauh lagi, kritik terhadap MBG tidak hanya berkaitan dengan aspek kesehatan. Sejumlah pakar menilai bahwa program ini secara fundamental melanggar prinsip Hak Asasi Manusia jika dilihat dari perspektif kepentingan umum sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Dosen Fakultas Hukum UGM, Hambalang, saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materiil Undang-Undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, menyoroti kekeliruan penempatan MBG dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN), yang seharusnya berfokus pada kepentingan publik yang lebih luas. Di sisi lain, Ahli Gizi Masyarakat, Dr. dr. Tan Shot Yen, juga menilai bahwa program MBG justru bertentangan dengan edukasi gizi karena menyajikan makanan instan seperti burger dan spageti.
Menurut JPPI kegagalan MBG melanggar ha katas pangan aman (Pasal 25 DUHAM, Pasal 11 Kovenan Internasional, dan UU No. 18/2012). Bahkan Lembaga Bantuan Hukum Bandung menuntut penghentian MBG, penanganan medis bagi korban, dan pertanggungjawaban Negara atas pelanggaran HAM.
Ironisnya program MBG ini menyedot anggaran cukup besar dalam APBN 2026 yakni Rp. 335 triliun. Adapun anggaran BGN bersumber dari tiga fungsi utama, yaitu dari alokasi pendidikan sebesar Rp 223 triliun atau 83,4 persen, kedua dari alokasi kesehatan Rp 24,7 triliun atau 9,2 persen, dan alokasi ekonomi Rp 19,7 triliun atau 7,4 persen.
Selalu saja di negara kita langkah preventif timbul setelah suatu kejadian terjadi. Bagaimana tidak, sedari awal SPPG tidak diwajibkan mengantongi Sertifikat Layak Higienis dan Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan, dan sampai saat inipun hanya beberapa SPPG yang mengantongi SLHS tersebut. Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, “sebagian besar kasus terjadi pada SPPG baru karena SDM masih membutuhkan pengalaman.” Statement tersebut seolah olah anak-anak dijadikan “percobaan”, dan program tersebut terkesan tidak matang dan kurang persiapan dalam memitigasi suatu resiko yang timbul.
Prihatin sekali program yang menyedot Rp 335 triliun APBN ini justru meninggalkan jejak kasus keracunan dan kritik fundamental.
Dengan berbagai fakta di atas, muncul pertanyaan mendasar: apakah Program Makan Bergizi Gratis benar-benar menghadirkan gizi, atau justru risiko baru yang mengancam keselamatan generasi muda? Sebuah program boleh ambisius, tetapi keselamatan anak-anak tidak boleh menjadi taruhannya.
Oleh : Rivan Maulana, Willy Setiaza