KUNINGAN (MASS) – Tulisan ini saya buat untuk para seluruh pemuda yang pada akhirnya gagal move on dalam berproses, bahkan terkesan tak bisa menciptakan ruang untuk berpikir di lini baru. Fenomena saling menjatuhkan antar para pemuda saya rasa sudah bukan lagi eranya, kita mengahadapi keadaan dimana banyak para pemuda yang hanya bisa menceritakan romantisme perjuangan pada masanya. atau saya sering menyebut itu semua dengan ‘Cerita ABDUL (Abang Dulu)’. Gerakan pemuda saat ini gampang digembosi karena para organisator hari ini banyak yang selalu ingin jadi ‘Imam’ atau ‘sosok didepan’ padahal seperti yang kita pahamin bergerak tidak hanya tentang orasi dan juga demonstrasi. merubah karakter bangsa harus dilakukan secara praktik.
Generasi pemuda—yang seharusnya menjadi pelopor perubahan—justru sering dihadang oleh bayang-bayang senior yang masih merasa memiliki otoritas. Fenomena ini mencerminkan Post Power Syndrome, di mana eks-pejabat atau aktivis gagal melepas identitas kekuasaan mereka.
Penelitian Ariyanti & Indriana (2015) pada pensiunan PNS anggota PWRI Semarang menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara hardiness (ketahanan psikologis) dan kecenderungan Post Power Syndrome (r = –0,695; p < 0,001). Variabel hardiness menjelaskan 48,4% variansi post power syndrome: semakin rendah psikologis ketangguhan seseorang, semakin tinggi gejala kehilangan identitas dan kecemasan setelah kehilangan jabatan formal.
Ini memberi perspektif penting: mereka yang terlalu melekat identitasnya pada kekuasaan akan kesulitan melepaskan posisi—dan cenderung memaksakan standar lama kepada generasi sekarang.
Teori Klasik: Hukum Besi Oligarki oleh Michels
Menurut Robert Michels (1911), dalam setiap organisasi demokratik akan terjadi pembentukan elit yang mempertahankan kekuasaan—iron law of oligarchy. Seiring kompleksitas organisasi meningkat, kekuasaan otomatis mengkristal pada kelompok kecil, bahkan jika struktur awalnya demokratis.
Analogi Taji: Wasit yang Tak Mau Mundur
Bayangkan pertandingan sepak bola. Kapten tim sebelumnya menolak menjadi pelatih atau sekadar penonton. Ia tetap meneriakkan formasi—padahal sudah bukan pemain. Anak muda jadi ragu mengambil inisiatif, fokus bukan pada permainan, tapi pada tuntutan validasi senior.
Idealnya, sang mantan kapten mengarahkan dari pinggir lapangan, membantu berkembang, tanpa menaklukkan kembali. Tapi budaya senior yang tidak legawa membuat pertandingan menjadi ajang bertahan—bukan berubah.
Studi di Universitas Negeri Gorontalo menyimpulkan bahwa kultur senioritas sering memberikan tekanan sosial kepada mahasiswa baru dalam hal akademik maupun keikutsertaan organisasi. Dampaknya antara lain:
Mahasiswa baru mengikuti pilihan organisasi senior, bukan berdasarkan minat,
Tekanan sosial terjadi dalam pengambilan keputusan pribadi,
Kredit sosial dan akses informasi senior sering menjadi penentu termasuk kesuksesan junior
Analogi Tajam: Wasit yang Tak Lega Mundur
Bayangkan seorang eks-kapten yang belum rela turun dari gawang kontrolnya. Ia tetap mengatur formasi, memerintah, dan mendikte tim muda, meski posisinya semestinya menjadi pelatih atau penasihat. Alhasil, junior kehilangan ruang kreatif; mereka lebih sibuk membela diri dari kritik ketimbang membuat ide revolusioner.
Kesimpulan & Rekomendasi Praktis
Post Power Syndrome telah dibuktikan secara kuantitatif terkait identitas kekuasaan yang sulit dilepas setelah pensiun atau kehilangan posisi formal. Iron Law of Oligarchy memperlihatkan sudut sistemik: organisasi yang besar cenderung dipertahankan oleh elit yang ingin status quo.
Kultur senioritas di banyak kampus secara empiris menghambat kreativitas dan semangat inovasi di kalangan mahasiswa baru. Dampak ini mendorong regenerasi mandek, kreativitas terbendung, dan munculnya apatisme terhadap aktivisme pemuda.
Penulis: Muhammad Hanif, Founder Swara Pemoeda