KUNINGAN (MASS) – Peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September) pada tahun 1965 meninggalkan bekas mendalam dalam sejarah Indonesia, termasuk warga Kabupaten Kuningan secara umum.
Akademisi Kuningan, Andriana, pemerhati sejarah dan politik, memberikan pandangannya mengenai fenomena komunisme di Indonesia serta dampaknya setelah peristiwa tersebut. Menurutnya, komunisme tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang bangsa ini, terutama dalam konteks kebangkitan dan penolakannya.
Andriana menjelaskan bahwa setelah G30S/PKI, komunisme secara resmi dilarang di Indonesia dan dianggap sebagai ideologi terlarang. Ia menyinggung pentingnya mengenang sejarah tersebut sebagai pengingat agar ideologi ini tidak kembali berkembang.
“Peristiwa tersebut menjadi alarm besar bagi bangsa ini, menandakan bahwa kita tidak boleh terjebak dalam fase mencekam yang mengancam keamanan dan persatuan,” ungkapnya, Selasa (30/10/2025).
Meskipun gerakan komunis secara terbuka sudah tidak ada di masyarakat, Andriana mencatat bahwa isu komunisme kerap muncul kembali dalam diskusi politik dan sentimen sejarah. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun komunisme dilarang, dampaknya masih terasa dalam diskusi publik.
“Di Kuningan, kita tidak menemukan jejak gerakan komunis aktif saat ini, tetapi wacana komunisme sering diingat untuk memperkuat kewaspadaan masyarakat,” tambahnya.
Selanjutnya, Andriana menjelaskan bahwa ideologi komunisme bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas, di mana seluruh alat produksi dikuasai bersama. Ia menyoroti kesenjangan antara janji keadilan sosial dan realitas yang terjadi di lapangan, di mana elit partai sering kali mengejar kepentingan pribadi.
“Namun, dalam praktiknya, komunisme sering kali disalahgunakan sebagai alat politik oleh elit yang memiliki ambisi kekuasaan,” katanya.
Saat ditanya apakah Indonesia harus mengikuti jejak Tiongkok sebagai negara komunis, Andriana dengan tegas menjawab tidak. Tiongkok tetap menyebut diri sebagai negara komunis, tetapi praktik ekonominya adalah campuran antara kontrol negara dan mekanisme pasar bebas.
“Kemajuan Tiongkok bukanlah hasil dari komunisme murni, melainkan dari reformasi ekonomi yang mengadopsi banyak prinsip kapitalisme pasar,” jelasnya.
Ia juga menekankan Indonesia tidak perlu berubah menjadi negara komunis, mengingat sejarah kelam komunisme di tanah air. “Peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat bahwa ideologi ini pernah membawa ketegangan dan konflik yang mengakibatkan banyak korban. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terulang lagi,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya Pancasila sebagai dasar negara. “Pancasila mampu mempersatukan masyarakat yang majemuk dan mengakomodasi nilai-nilai keadilan sosial tanpa menyingkirkan agama dan budaya,” tuturnya.
Andriana juga menyentil isu Rusia, yang dulunya menjadi pusat komunisme dunia, kini telah meninggalkan sistem tersebut. “Setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia beralih ke sistem yang lebih terbuka,” ujarnya.
Selain itu ia menekankan kemajuan bangsa ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kedisiplinan, inovasi teknologi, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
“Stabilitas politik jauh lebih berpengaruh terhadap kemajuan negara daripada ideologi komunisme. Indonesia harus fokus pada pengembangan potensi yang ada, bukan terjebak dalam ideologi yang telah terbukti gagal,” pungkasnya. (raqib)