Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Perenungan Diakhir Tahun Hijriyah

KUNINGAN (MASS) – Tidak terasa kita kembali melewati peristiwa pergantian tahun baru hijriyah, yaitu tahun 1445 H berganti menjadi 1446 H. Pergantian tahun baru ini hendaknya dijadikan sebagai sarana untuk perenungan diri agar hidup menjadi lebih bermakna.

Diantara upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri adalah dengan melakukan perenungan diri atau muhasabah. Perenungan pengalaman atau kesalahan masa lalu yang dibarengi dengan introspeksi diri agar menjadi lebih baik di masa depan.

Dalam Islam, perenungan diri atau muhasabah ini diperintahkan secara langsung dalam Alquran.

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Hasyr [59]: 18).

Setiap Mukmin dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas amalnya. Untuk peningkatan kualitas amal, perenungan diri atau muhasabah sangat diperlukan. Tanpa muhasabah tidak akan ada peningkatan kualitas amal. Karena itu, muhasabah menjadi karakter utama pribadi Mukmin, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas.

Umar bin Khaththab, seorang sahabat yang dikenal sebagai Amirul Mukminin pernah mengingatkan umat Islam dengan perkataannya yang sangat populer, “Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu.” Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.

Muhasibi, seorang sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu, seperti hadits dan fiqih. Nama lengkapnya Abu Abdillah Al-Haris bin Asad Al-Basri Al-Bagdadi Al-Muhasibi. Ketika ia ditanya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan soal muhasabah.

“Dengan apa jiwa itu dihisab?” Ia menjawab, “Jiwa itu dihisab dengan akal.” Ia ditanya lagi, “Dari mana datangnya hisab itu?” Ia menjawab, “Hisab itu datang dari adanya rasa takut akan kekurangan, hal-hal yang merugikan, dan adanya keinginan untuk menambah keuntungan.”

Muhasabah dalam pandangan Muhasibi, mewariskan nilai tambah dalam berpikir (basirah), kecerdikan, dan mendidik untuk mengambil keputusan yang lebih cepat, memperluas pengetahuan, dan semua itu didasarkan atas kemampuan hati untuk mengontrolnya.

Ketika ditanya, “Dari mana sumber keterlambatan akal dan hati untuk menghisab diri?” Ia menjawab, “Keterlambatan itu disebabkan oleh karena hati. Dalam keadaan demikian hati sangat didominasi oleh kekuatan hawa nafsu dan syahwat yang kemudian menguasai akal, ilmu, dan argumen.”

Ketika ditanya, “Dari mana kebenaran datang?” Ia menjawab, “Kebenaran itu datang karena pengetahuan kita bahwa Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat. Pengetahuan itu merupakan dasar bagi kebenaran dan kebenaran merupakan dasar segala perbuatan baik. Karena kemampuan dan kekuatan kebenaran itulah, seorang hamba dapat meningkatkan segala perbuatan baik dan kebajikannya.”

Muhasabah merupakan kesadaran akal untuk menjaga diri dari pengkhianatan nafsu melalui proses pencarian kelebihan dan kekurangan diri. Karena itu, muhasabah menjadi lampu di hati setiap orang yang melaksanakannya.

Oleh karena itu, setiap momentum pergantian tahun baru mestinya dijadikan sebagai sarana untuk perenungan atau musabah atau evaluasi diri atas berbagai amal yang telah dilakukan dan sejauhmana waktu dan kesempatan yang diberikan digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.

Ketahuilah bahwa “Tidak akan bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya (dimintai pertanggung jawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskan, tentang ilmu bagaimana ia mengamalkan, tentang harta, dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR Tirmidzi).

Setiap pergantian tahun baru mengingatkan, secara matematika usia seseorang bertambah, padahal sejatinya jatah hidup di dunia berkurang. Jika hal ini direnungi secara seksama, seseorang akan memanfaatkan pergantian tahun untuk evaluasi diri agar seiring dengan bertambahnya usia, semakin bertambah bermanfaat hidupnya.

Seorang ulama Imam Hasan Al-Basri mengingatkan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, berlalu pulalah sebagian hidupmu.”

Dengan pemaknaan seperti itu seharusnya setiap pergantian tahun dimanfaatkan untuk mengevaluasi diri sudah sejauhmana bekal yang sudah disiapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian, bukan berhura-hura hingga menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, pergantian tahun juga mengingatkan tentang hakikat waktu. Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Siapa yang mengetahui arti waktu berarti mengetahui arti kehidupan. Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri.”

Dengan begitu, manusia yang senantiasa menyia-nyiakan waktu dan umurnya berarti tidak memahami arti kehidupan. Ulama kharismatik Dr Yusuf Qaradhawi dalam bukunya Al-Waqtu fi Hayatil Muslim menjelaskan tentang tiga ciri waktu, yaitu cepat berlalu, tidak akan kembali lagi, dan sebagai harta yang paling mahal.

Jika waktu cepat berlalu dan tidak mungkin kembali lagi, serta harta yang paling mahal, maka pantaskah kita menyia-nyiakannya? Jadikan akhir tahun ini sebagai sarana untuk melakukan perenungan diri atau muhasabah agar sisa kehidupan menjadi lebih baik dan memberikan manfaat seluas-luasnya kepada masyarakat, bangsa dan negara. Buktikan!

Advertisement. Scroll to continue reading.

H Imam Nur Suharno dan Hj Siti Mahmudah
Penceramah Agama Tinggal di Kuningan, Jawa Barat

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Netizen Mass

(Khutbah Jumat di Mesjid Kampus Al-Ihya Centre) Oleh : Ust. Iim Suryahim, S.S.I.,M.Pd.I (Dosen UNISA Kuningan) Hadirin Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah. Judul khutbah yang...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Fenomena malam pergantian tahun (Masehi) selalu menjadi pusat perhatian dan daya tarik tersendiri, pasalnya sistem penanggalan ini dipakai oleh seluruh warga...

Advertisement
Exit mobile version