KUNINGAN (MASS) – Penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi diminta agar dievaluasi. Ini seiring dengan munculnya banyak keluhan dari orang tua siswa yang tidak kebagian kuota meski dekat dengan sekolah target.
Keluhan ini sebagian besar dilontarkan orang tua dari anaknya yang hendak masuk SMA. Meski rumahnya dekat dengan beberapa sekolah favorit yang ada di seputar kota, namun anaknya tidak bisa masuk.
“Kan zonasinya pakai durasi ya. Jarak lebih dekat bisa mengalahkan yang jaraknya lebih jauh meski masuk wilayah kota. Cuma masalahnya, kalau murni durasi mah kita bisa terima. Tapi ini ada dugaan orang diluar zonasi nitip KK ke sodaranya atau siapa, yang rumahnya didalam zonasi,” keluhnya.
Akibat dugaan tersebut, warga yang asli masuk wilayah zonasi malah tergeser. Menurut sumber yang enggan dipublish identitasnya ini menilai ironis jika warga kota justru terlempar ke sekolah luar kecamatan domisilnya sendiri.
Sejak awal ia kurang setuju dengan sistem zonasi dilihat dari kacamatanya. Dengan sistem sekarang, menurut dia, rentan manipulasi domisili atau administrasi kependudukan. Bukan hanya itu, sistem tersebut pun menurunkan daya tantangan bagi siswa dari pinggiran kota yang membidik sekolah favorit.
“Misal begini, ada siswa dari Kuningan yang bukan seputar kota, pengen meneruskan ke sekolah favorit di kota. Nilai akademiknya bagus misalnya, tapi kuota jalur prestasinya dibatasi. Pake zonasi juga ga masuk, akhirnya sekolah di kecamatannya sendiri yang membuat merasa kurang tertantang,” tuturnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar sistem zonasi dievaluasi. Guna menumbuhkan prestasi siswa, menurutnya, perlu juga ada persaingan yang memacu tantangan. Dengan begitu kualitas lulusan sebagai generasi penerus bangsa akan lebih teruji.
“Kalaupun memang sistem sekarang dianggap lebih baik, tolong diukurnya pake parameter apa? Kasih tau masyarakat biar paham,” ucapnya.
Ketika dikonfirmasikan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kuningan, Drs H Uca Somantri MSi menjelaskan, untuk jenjang SLTA bukan lagi wilayah kewenangan kabupaten.
“Terkait PPDB untuk jenjang SMA/SMK sudah menjadi kewengangan propinsi,” jawabnya singkat saat dikonfirmasi Jumat (7/7/2023). (deden)
Fitri
8 Juli 2023 at 13:50
Iya betul sistem yg sekarang juga tidak dilihat nilai cuma liat umur dan wilayah terdekat jadi kerja keras siswa utk mendapatkan sekolah favorit sia2..dan jadi tidak merasa tertantang
suryo wiyono
8 Juli 2023 at 17:56
Hapyskan sistem zonasi,sekolah negeri secara spasial tidak terdistribysi merata, demikuan juga kualitasnya. Sehingga menciptakan ketidaksamaan akses terhadap pendidikan yg diselenggarakan negara. Lg pula melanggar prinsip indonesia sebagai negara kesatuan, bukan negara xonasi
agus subianto
9 Juli 2023 at 10:03
Betul juga. Kalau sistim zonasi seperti ini mungkin selamanya anak2 di kampung saya ga bakalan bisa masuk sekolah negeri. Sebab jarak terdekat untuk sekolah menengah sejauh empat kilo meter. Faktanya dgn sistim zonazi anak yg diterima di sekolah menengah Negro 1,5 Kim
Bambang
9 Juli 2023 at 11:33
Kadang bingung juga utk zonasi ada yg cuma 60-100 meter jaraknya, padahal di lingkungan sekolahnya banyak perkantoran kok bisa yah. Gimana caranya itu kok lingkungan kantor bisa zonasi 60 meter…
Mustakim
9 Juli 2023 at 14:57
Bubarkan zonasi kembalikan seperti sebelumnnya,zonani menghilangkan kompensi
Dk
9 Juli 2023 at 15:17
Halahh yg 1 kecamatan aja susah dpt negeri. Skrg mah sistem nya gak perlu pinter yg penting rmhnya deket sekolah negeri.
Wandi
11 Juli 2023 at 15:42
Aneh bin ajaib mmg PPDB yg diterapkan, krn jg persyaratan bkn berdasarkan hasil uan, dr nilai raport dr smt1 – smtr5, ada sekolah yg jor2an ksh nilai bagus trhadap siswanya, yg menyingkirkan jarak rmh 2km ke sekolah lain 17km